Perang demi perang meletus. Iran, Israel, Amerika Serikat, Rusia, Cina, semua memobilisasi pasukan dan propaganda. Tapi benarkah ini soal akidah, kebenaran, atau membela rakyat?
Atau… ini hanya syahwat kekuasaan? Nafsu geopolitik? Putaran tak berujung dari military industrial complex yang butuh musuh untuk menjaga profit?
Toh, kita tahu: Yang kaya makin kaya. Yang mati tetap rakyat kecil.
Dan ini bukan kejutan. Dulu, Alkitab sudah menubuatkan tentang “deru perang dan kabar perang” (Matius 24:6). Dan Qur’an, 2025 tahun kemudian, mencatat gema yang sama — ketika Romawi dan Persia bertempur (QS Ar-Rum: 1–4). Dua imperium. Dua ideologi. Dua ego dunia.
Dan kini, perang besar itu kembali mendekat. Bukan sebagai sejarah… tapi sebagai nubuah yang sedang aktif kembali. Penah pada masanya tiba kata Al-Qur’an:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah Mahakuasa menolong mereka.”
(QS Al-Hajj: 39)
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi oleh ribuan pengikut yang taat. Mereka tidak gentar, tidak melemah, dan tidak menyerah karena cobaan di jalan Allah.”
(QS Ali ‘Imran: 146)
Ayat-ayat ini dulu terasa seperti arsip sejarah. Tapi hari ini, kita hidup dalam zaman yang mirip. Maka, mari kita refleksikan posisi kita
Kita sedang hidup di babak peradaban besar:
• Ketika darah tumpah demi profit senjata.
• Ketika kiblat geopolitik dipalsukan.
• Ketika “musuh bersama” diciptakan agar korporat bisa hidup.
Waktunya sadar. Waktunya berpihak. Berpihak pada kebenaran. Waktunya kembali ke jalur kebenaran Ilahi. Kata Al-Qur’an, kebenaran ilahi bukan timur dan barat. Perang yang datang bukan soal siapa punya senjata paling banyak, tapi siapa yang paling jujur memegang amanah kebenaran.
Dan ketika deru perang kembali terdengar, bukan suara bom yang akan membelah sejarah,
Tapi suara nurani yang memilih jalan Tuhan. Hubungi teodisi untuk berdiskusi kebenaran.
Catatan: “Tulisan ini adalah refleksi spiritual dan bukan ajakan terhadap kekerasan dalam bentuk apapun.”
Penulis: Abqurah