KETIKA PIKIRAN JADI PENJARA

Satu kata dari orang lain, satu sikap yang tidak jelas, atau bahkan satu pesan yang belum dibalas bisa menjadi bahan renungan panjang. Dari krisis identitas, kita pun melangkah ke fase lain: Overthinking, saat pikiran terlalu sibuk menciptakan kemungkinan yang belum tentu terjadi. 

    Awalnya, overthinking terlihat seperti usaha mencari kepastian. Kita merasa sedang berhati-hati, menimbang segala arah. Namun kenyataannya, justru lebih sering melahirkan kecemasan. Akibatnya, kita sulit tidur, sulit fokus, bahkan kehilangan kemampuan menikmati hal-hal sederhana. Overthinking seperti orang yang berdiri di persimpangan jalan: sibuk menimbang arah mana yang lebih aman, tetapi akhirnya tidak pernah benar-benar melangkah.

Allah sudah memberi peringatan tentang bahayanya hidup dalam prasangka:

“Padahal, mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” 

(QS. An-Najm: 28)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa dugaan seberapa kuat pun kita meyakininya, tidak pernah bisa menggantikan kebenaran. Overthinking adalah bentuk lain dari menuruti dugaan, dan pada akhirnya hanya menguras energi tanpa memberi kepastian.

Sumber utama overthinking biasanya adalah keinginan untuk mengendalikan segalanya. Kita ingin memastikan setiap langkah sempurna, setiap hasil sesuai harapan. Allah sudah menegaskan: 

“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)

Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berada dalam ketetapan Allah. Tidak ada kejadian yang lepas dari pengaturan-Nya, semua dalam pengaturan-Nya. Namun, memahami hal ini bukan berarti kita berhenti berusaha, justru di sinilah letak keseimbangannya: manusia tidak boleh pasrah dalam artian malas. Ibarat kunci yang sudah ada, manusia tetap perlu mencari di mana letaknya, lalu menggunakannya untuk membuka pintu. Allah menyediakan jalan, tapi manusia tetap wajib berjalan.

 

Rasulullah Muhammad SAW juga mengajarkan keseimbangan itu dalam sabdanya:

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, lalu pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)

    Burung pipit tidak diam di sarang menunggu makanan turun dari langit. Burung terbang, mencari, dan berusaha. Bedanya dengan manusia adalah: burung tidak terjebak dalam kekhawatiran berlebihan tentang esok hari. Burung bergerak sesuai fitrahnya, lalu kembali dengan apa yang telah diusahakan. Maka, begitu juga manusia. Kita memang dituntut untuk berusaha dulu, melakukan apa yang bisa dilakukan. Sayangnya, banyak orang lebih dulu menghabiskan energi pada hal-hal yang bahkan belum tentu terjadi. Mereka terjebak dalam skenario “bagaimana kalau nanti begini, bagaimana kalau nanti begitu,” padahal langkah nyata belum juga dimulai. Inilah yang membuat pikiran menjadi semacam penjara.

     Jika direnungi, overthinking bukanlah tanda kebijaksanaan, melainkan tanda bahwa kita sedang membiarkan diri hidup dalam bayangan prasangka. Padahal yang lebih realistis dan logis adalah: lakukan usaha kita semaksimal mungkin. Dengan begitu, energi kita benar-benar terpakai untuk menghadapi apa yang nyata di depan mata, bukan untuk skenario yang hanya hidup di kepala. 

    Kesadaran mengajarkan keseimbangan: semua sudah tertulis, tetapi kita tetap berkewajiban berusaha. Semua sudah diatur, tetapi kita tetap bergerak. Menjadi manusia tidak boleh hanya menyerah pada “takdir” lalu bermalas-malasan, sebab takdir itu sendiri baru akan kita jumpai ketika kita mau berjalan. Demikian, itulah yang membedakan antara tawakal yang benar dan overthinking yang menjerat.

    Overthinking membuat kita sibuk melawan kecemasan di dalam kepala sendiri, ada pula bentuk lain dari kegelisahan yang justru diarahkan keluar. Bukan lagi sekadar memikirkan “bagaimana kalau”, melainkan dalam kondisi ini, seseorang bisa sampai mencari-cari cara agar mendapat yang diinginkan, bahkan lewat jalan yang keliru. Dalam psikologi, ada istilah khusus untuk menjelaskan kecenderungan ini, sebuah studi oleh Cooper, Balsis, & Oltmanns (2010) (Self- and informant-reported perspectives on symptoms of narcissistic personality disorder) Publication of Pubmed menunjukkan bahwa seringkali orang di sekitar lebih mampu melihat tanda-tanda tersebut dibandingkan individu itu sendiri. Fenomena inilah yang akan kita sentuh di pembahasan berikutnya. 

 

 

PENULIS: AXELLA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *