Setelah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, pembahasan mengenai emosi, stres, dan kecemasan kini semakin terbuka di ruang publik. Banyak orang mulai berani mengakui bahwa mereka pernah merasa cemas, gelisah, atau kelelahan batin. Namun, di balik keterbukaan yang positif ini, muncul fenomena baru yang justru bisa berbahaya yaitu self diagnose, kebiasaan mendiagnosis diri sendiri tanpa bimbingan profesional.
Kecemasan yang awalnya wajar sebagai respons terhadap stres sering kali disalahartikan sebagai gangguan mental berat hanya karena seseorang membaca gejala di internet. Begitu pula dengan perubahan perasaan, rasa malas, atau lelah, yang kemudian diberi label bipolar, depresi, atau burnout oleh diri sendiri. Di sinilah masalah muncul ketika pemahaman setengah matang membuat seseorang terjebak pada kesimpulan yang salah.
Self diagnose adalah tindakan seseorang menilai dan menyimpulkan kondisi kesehatan mentalnya sendiri tanpa bantuan tenaga profesional. Biasanya, hal tersebut muncul karena seseorang terlalu mengandalkan informasi dari media sosial, artikel daring, atau cerita teman. Padahal, banyak gejala psikologis yang tumpang tindih. Misalnya, rasa cemas yang masih wajar bisa disalahartikan sebagai anxiety disorder, atau suasana hati yang fluktuatif disimpulkan sebagai bipolar disorder.
Kesalahan diagnosis ini dapat berakibat serius. Seseorang bisa merasa “lebih sakit” dari kenyataannya, mengambil tindakan yang keliru, bahkan menolak bantuan ahli karena merasa sudah memahami dirinya. Akibatnya, bukan sembuh, justru kondisi mentalnya semakin menurun. Selain itu, muncul pula efek psikologis lain seperti stigma diri, rasa takut berlebihan, atau perilaku yang memperburuk stres dan isolasi sosial.
Sikap terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu tanpa dasar pengetahuan yang kuat sejatinya sudah diingatkan. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat (49): 12:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”
Ayat ini menegaskan bahwa prasangka yang tidak disertai ilmu bisa menjerumuskan manusia. Dalam konteks kesehatan mental, ketika seseorang hanya mengandalkan dugaannya tanpa memahami secara ilmiah, maka ia sedang berjalan dalam kabut, merasa yakin, padahal tersesat.
Fenomena self diagnose bisa diibaratkan seperti berjalan di kota asing tanpa peta. Di awal, kita mungkin merasa percaya diri tahu arah, tapi semakin jauh melangkah, semakin bingung dan tersesat. Begitu pula dengan pikiran kita saat mencoba menilai diri sendiri tanpa pemahaman yang benar.
Allah menegaskan pentingnya ilmu sebelum bertindak dalam QS. Al-Isrā’ (17): 36:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Ayat tersebut menuntun manusia agar berhati-hati dalam mengambil keputusan, termasuk saat menilai kondisi mental diri sendiri. Dalam konteks modern, tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater berperan sebagai pemandu atau “peta” yang membantu seseorang memahami arah menuju pemulihan. Tanpa mereka, proses penyembuhan bisa tersesat dalam asumsi dan ketakutan pribadi.
Self diagnose bukanlah jalan menuju kesembuhan, melainkan jebakan halus yang membuat seseorang semakin terperangkap dalam prasangka dan langkah keliru. Banyak gejala kesehatan mental yang tampak mirip namun berbeda akar penyebab dan cara penanganannya. Karena itu, menempelkan label tanpa pemeriksaan hanya memperbesar risiko kesalahan.
Al-Qur’an sudah memberi peringatan agar manusia tidak bertindak atas dasar dugaan tanpa ilmu. Prinsip ini juga sejalan dengan pendekatan ilmiah dalam psikologi modern: diagnosis yang benar harus melalui penilaian objektif oleh tenaga ahli. Maka, jika merasa gelisah, cemas, atau kehilangan semangat, langkah terbaik bukanlah menebak apa yang sedang terjadi, melainkan mencari tahu dengan cara yang benar. Kesehatan mental adalah bagian dari amanah tubuh dan jiwa yang harus dijaga dengan ilmu, kesadaran, dan bimbingan yang tepat.
Penulis : Ahmad Azaria Adhitama
Daftar Pustaka
• American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed., Text Revision).
• Yıldız, M. A., & Uzun, S. (2021). The Dangers of Self-Diagnosis in Mental Health: Social Media and Misinterpretation of Psychological Symptoms. Journal of Mental Health Education, 12(3), 145–158.
• Bashir, S., & Arshad, M. (2020). Impact of Self-Diagnosis on Mental Health Treatment Seeking Behavior. International Journal of Psychology and Behavioral Sciences, 10(2), 45–51.
• Koç, M., & Demir, A. (2019). Understanding Misdiagnosis and Self-Diagnosis in Online Mental Health Communities. Computers in Human Behavior, 96, 80–89.