Kritik Demokrasi: Pemilu Mempersatukan atau Memecah Belah? (Bagian 2)

Kritik Demokrasi: Pemilu Mempersatukan atau Memecah Belah?

Teodisi.com : Penerapan sistem demokrasi yang berbeda-beda pada suatu negara berdampak terhadap perpecahan rakyatnya. Pada akhirnya, rakyat akan terpecah belah dan terpolarisasi ke dalam partai atau golongan yang mengedepankan kepentingan segelintir elit penguasa (oligarki) maupun kelompoknya.
Mereka berpecah belah ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertolak belakang antara satu dan lainnya. Itulah wujud konkrit kehidupan musyrik, yakni kehidupan menduakan atau mempersekutukan sistem Tuhan dengan sistem buatan manusia.
Kritik Demokrasi: Pemilu Mempersatukan atau Memecah Belah?   (Bagian 2)

Perhatikan penjelasan mengenai esensi kemusyrikan dalam surat Ar-Ruum [30] ayat 31-32:

“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik), yaitu orang-orang yang memecah belah Din (partai; agama) mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

Suara Tuhanlah yang Harus Menjadi Suara Rakyat

“Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi” (Ulangan 28 ayat 1).

Hal lain yang mencolok dari perbedaan antara sistem Tuhan dan sistem demokrasi adalah adagium “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip yang menyatakan bahwa rakyat (manusia) adalah hamba, sedangkan Allah adalah Sang Tuan.
Sumber kekuasaan itu bukan berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan, Raja sejati manusia. Artinya Tuhan-lah yang berhak memilih seorang pemimpin bagi umat manusia.

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am ayat 165)

Sekali lagi diangkatnya seorang pemimpin (khalifah) bukan didasarkan pada keinginan rakyat (suara terbanyak), melainkan atas kehendak Tuhan.

Kualifikasi Seorang Pemimpin
Kualifikasi seorang khalifah harus sesuai dengan sifat dan karakter Tuhan. Hal itu penting karena tugas seorang khalifah adalah menjamin terwujudnya kehidupan yang damai dan sejahtera di muka bumi.
Oleh sebab itu, jabatan khalifah bagi orang-orang beriman (mu’min) adalah ujian atau amanah yang harus dipertanggungjawabkan dan memiliki konsekuensi apabila tidak dilakukan dengan benar.
Dengan kata lain, pemimpin, penguasa, atau khalifah bertanggungjawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat (manusia). Jika kedaulatan berasal dari Tuhan, maka kembalinya pun hanya kepadaNya.
Celah Sistem Demokrasi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, mekanisme pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi memiliki cacat logika. Pemilu memiliki banyak kelemahan dalam sebuah proses suksesi kepemimpinan suatu negara.
Siapapun dan apapun latarbelakangnya memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin atau pejabat, baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan seorang terpidana koruptor dapat menjadi peserta pemilihan.
Bisa dibayangkan, seandainya para pelanggar hukum itu terpilih menjadi seorang eksekutif atau anggota dewan legislatif dalam kontestasi berdasarkan suara terbanyak, hukum dan undang-undang apa yang akan dihasilkannya?
Kemudian, masyarakat apa yang akan dibentuk oleh hukum dan undang-undang hasil para pesakitan, jika bukan hukum yang hanya menambah penderitaan masyarakatnya.
Pemilihan berbasis (one man, one vote, one value) berorientasi kesetaraan tanpa menimbang faktor lainnya sehingga suara seorang ilmuwan sama dengan suara seorang narapidana, suara kriminal sama dengan suara ustad.
Suara seorang pejabat sama dengan suara pecandu narkoba. Hal ini akan berdampak terhadap hasil akhir perolehan suara, sehingga suara orang bijak dan benar akan dikalahkan oleh suara mayoritas manusia jahil.
Oleh karenanya, mekanisme pemilu dalam sistem demokrasi bertentangan dengan prinsip Jalan Kebenaran yang diajarkanNya melalui RasulNya. Dengan tegas kita diingatkan, bahwa mayoritas manusia justru akan menyesatkan manusia dari jalanNya.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Al-An’am ayat 116)

Suara Mayoritas Bukan Standar Kebenaran
Menuruti persangkaan kebanyakan orang atau dominasi mayoritas atas minoritas ini menjadi prinsip utama dalam sistem demokrasi. Padahal jelas, banyaknya suara manusia tidak membuat suara itu otomatis menjadi sebuah kebenaran, kecuali prasangka belaka.
Oleh sebab itu, mekanisme voting (pemungutan suara) dalam sistem demokrasi untuk memutuskan suatu kebijakan juga bertolak belakang dengan sistem atau hukum Tuhan.
Inilah perbedaan mendasar antara sistem Tuhan dan sistem demokrasi buatan manusia. Sistem demokrasi menyandarkan segala sesuatu berdasarkan jumlah suara mayoritas yang belum terjamin kebenarannya.

Kedaulatan Tuhan vs Kedaulatan Rakyat
Berbeda dengan sistem Tuhan yang berlandaskan bahwa segala sesuatu bersumber dari hukumNya dan sunnah RasulNya. Sistem Tuhan memberikan hak kepada para pemimpin untuk melakukan musyawarah mufakat dan mengambil suatu keputusan serta kebijakan dalam pelaksanaan tugasnya.
Dengan demikian, Sistem Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum yang didasarkan pada kesepakatan mayoritas (suara terbanyak).
Sistem Tuhan yang tauhid bersifat pasti dan tidak berubah sepanjang zaman sesuai dengan fitrah manusia, sedangkan sistem demokrasi tidak konsisten karena menuruti hawa nafsu manusia.
Sistem Tuhan bersifat mempersatukan umat manusia. Sedangkan sistem demokrasi dengan penyelenggaraan pemilu, menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat manusia. Pertikaian antar golongan (partai; agama; suku) selalu terjadi karena merasa benar dengan pilihan atau pendapatnya masing-masing.
 
Penulis: Irman
Editor: Harun Ester
Sumber Referensi :
Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna. Yogyakarta. Tiara Wacana.
Gaffar, Affan. 2005. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta.Pustaka Pelajar.
Kusnardi, Moh. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Makassar. Pusat Studi Hukum Tata Negara.
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. 2008. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta. Prenada Media Group.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *