APAKAH ANDA HAMBA ALLAH YANG SEJATI?

APAKAH ANDA HAMBA ALLAH YANG SEJATI?


Ketika seseorang telah mampu melepaskan semua ke-aku-an dirinya dan menafikan semua ilah-ilah lain selain Allah dalam hidupnya, kemudian memasrahkan dirinya untuk siap diatur oleh kehendak dan rencana Sang Pencipta dirinya, maka dia akan menemukan makna hakiki dari hidup ini dan jati dirinya sehagai HAMBA yang MUSLIM

 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat (51): 56)

 

Sahabatku …

 

Seringkali kita mendengar banyak
orang yang galau secara spiritual, sehingga berdampak pada aktivitas
kehidupannya. “Saya sedang mencari jati diri”, demikian kalimat yang sering
kita dengar. Anehnya, pernyataan tersebut seringkali membuat kita atau para
orangtua memaklumi perilaku yang menyimpang dari anak-anaknya.

 

APAKAH ANDA HAMBA ALLAH YANG SEJATI?

Bagi mereka yang sudah cukup
dewasa dan mapan secara intelektual, juga selalu bertanya, “Siapa aku? Kenapa
aku dilahirkan? Dan untuk apa aku dilahirkan?” Namun demikian, lingkungan di
mana kita hidup selalu menjadi faktor utama yang mempengaruhi cara kita
berpikir dan bersikap, tidak terkecuali cara kita berpikir dan bersikap secara
spiritual. Banyak orang masih bingung untuk menemukan “Kebenaran Sejati” itu
seperti apa.

Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?

 

Kemana saya harus mencari
kebenaran sejati itu? Siapa sejatinya diri saya? Dan seterusnya, Jika yang Anda
cari itu adalah kebenaran spiritual yang hakiki dan ingin mengetahui jati diri
Anda yang sejati, maka seharusnya Anda tidak perlu galau dan bingung. Tidak
perlu mencari kemana-mana bahkan harus melakukan ritual atau tarikat khusus,
hanya untuk mendapatkan petunjuk kebenaran sejati atau mencari jati diri.

 

Kita tidak perlu memikirkan
hal-hal yang “aneh” untuk menjawabnya. Cukup menjawab pertanyaan, “Siapa aku
ini?” Aku adalah manusia. Kenapa aku ada? Tentu saja karena ada yang mencipta
aku. “Siapa yang mencipta aku?” Tentu saja Allah, Sang Pencipta alam semesta.
Untuk apa Allah mencipta aku (manusia)?

 

Ada banyak jawaban dari
pertanyaan terakhir ini. Tergantung siapa dan apa yang ada dalam kesadaran qalbunya.
Namun demikian, jika kita ingin berpikir secara jernih dan fitrawi, maka
jawaban dari pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab dengan benar oleh Sang
Pencipta manusia itu sendiri. Dengan kata lain, jika jawabannya berasal dari
pribadi masing-masing manusia, maka yang muncul adalah jawaban subyektif, bukan
kebenaran sejati. Akibatnya, masing-masing merasa dirinya benar dan paling
benar, sehingga orang lain tidaklah benar. Kenapa Anda tidak mencari tahu atau
bertanya kepada Allah, Sang Pencipta ummat manusia? Pasti Anda akan menemukan
jawaban yang benar.

 

Mari kita renungi dan cari
jawabannya! Mungkinkah kita sebagai manusia bertanya langsung kepada-Nya Yang
Gaib? Betul, kita tidak dapat berdialog secara fisik dengan Dia seperti kita
berdialog dengan sesama manusia. Bahkan jika Dia berbicara kepada kita secara
fisik, kita tidak akan mampu atau kita malah kabur terbirit-birit jika
mendengar suara gaib-Nya. Lalu, bagaimana caranya berdialog atau bertanya
kepada Allah?

Baca Juga : Apakah Musyrik itu ?

 

Harus disadari, bahwa Allah itu
Maha Hidup Yang Menghidupkan. Dia tidak pernah berhenti mencipta dan tidak
pernah lalai dari tugas dan tanggung jawab-Nya sebagai Pencipta, Pengatur dan
Pendidik alam semesta. Allah tidak pernah berhenti untuk berfirman.
Sesungguhnya, setiap saat Dia berkata-kata kepada manusia, baik langsung maupun
tidak langsung, secara fisik maupun secara spiritual.

 

Alam semesta ini adalah maha
karya dari Allah yang sekaligus menjadi “Kitab Besar” dari-Nya untuk ummat
manusia. Dia mencipta alam semesta di atas prinsip kebenaran, sehingga manusia
tidak akan menemukan sedikit pun cacat atau kebatilan dalam ciptaan-Nya. Tidak
ada satu pun ciptaan Dia yang batil di alam ini. Alam semesta adalah wujud dari
Kebenaran Allah, sehingga ketika manusia ingin merenungi dan mengkaji makhluk
yang ada di alam ini, niscaya dia akan menemukan kebenaran.

 

Alam adalah ilmu Allah yang
materiil, sehingga ilmu Allah atau kebenaran itu ada pada alam. Alam adalah ayat-ayat
Allah atau firman Allah yang harus “dibaca dan dikaji” oleh manusia untuk dapat
mengenal Allah dan menemukan kebenaran. Alam harus dapat dijadikan sebagai alat
ukur dari kebenaran. Jika Anda memiliki kesadaran atau keyakinan yang
bertentangan dengan (kebenaran) alam, maka pemahaman dan keyakinan Anda itu
batil (salah). Jadi, bagi orang-orang yang beriman dan senantiasa berpikir akan
ciptaan Allah, maka bagi mereka Allah senantiasa berkata-kata (berdialog) atau
berfirman dengannya melalui alam.

Baca Juga : Islam Bukan Agama ?

 

Selain berbicara (berfirman)
kepada manusia melalui alam, Allah juga senantiasa berkomunikasi melalui wahyu
yang disampaikan melalui Utusan (Rasul)-Nya. Dialah manusia pilihan Allah yang
bertugas sebagai “Bibir Tuhan” atau “Juru Bicara” Dia di muka bumi dalam
menyampaikan dan menjelaskan segala kehendak, rencana, dan perintah-Nya bagi
ummat manusia. Firman-firman Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya tersebut
selanjutnya ditulis dan dibukukan dalam satu “Kitab Suci”, seperti Kitab Al-Qur’an.
Dengan demikian, Al-Qur’an adalah kumpulan firman (wahyu) atau kalam Allah yang
disampaikan oleh Rasulullah Muhammad kepada ummat manusia.

 

Al-Qur’an adalah Kitab Petunjuk
untuk mengetahui segala kehendak, rencana, dan perintah Allah untuk manusia di
muka bumi. Al-Qur’an adalah petunjuk jalan kebenaran bagi manusia untuk dapat
mengenal dengan benar dan pasti siapa Allah, Sang Pencipta dirinya. Al-Qur’an
juga sebagai Kitab petunjuk bagaimana caranya membangun suatu tatanan kehidupan
masyarakat bangsa manusia menjadi kehidupan surgawi, yakni suatu tatanan
kehidupan dunia yang setimbang, harmonis, teratur, dan penuh dengan kedamaian
serta saling menyejahterakan seperti halnya kehidupan surgawi yang ada di alam
semesta. Membumikan Kerajaan Allah (kehidupan surgawi) yang ada pada alam semesta
ke dalam kehidupan sosial ummat manusia adalah misi setiap Rasul Allah dan
orang-orang beriman.

 

Dari penjelasan dan renungan
singkat di atas, kiranya sahabat sudah dapat menemukan titik terang dalam
mencari jawaban dari pertanyaan sederhana sebelumnya, “Bagaimana cara bertanya
kepada Allah, Sang Pencipta manusia?” Harapannya, Anda akan menemukan sebuah
kebenaran atau jawaban dari pertanyaan dasar akan dir! Anda, “Kenapa aku
diciptakan?” atau “Kenapa Allah mencipta aku?” atau “Apa tujuan dari penciptaan
manusia?

Baca Juga : Apakah Anda Seorang Muslim ?

 

Untuk memperoleh kebenaran
sejati, maka Anda harus kembali kepada sumber dari segala sumber kebenaran
yakni Allah Yang Maha Benar. Wujud dari Kebenaran Allah, ada pada alam dan pada
firman (wahyu)-Nya Yang tertulis dalam Kitab Suci (Al-Qur’an). Untuk itu,
jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dicari pada alam dan pada Kitab Al-Qur’an, Adakah jawaban Allah dalam Al-Qur’an
tentang pertanyaan tersebut, “Kenapa Allah mencipta manusia?” Ada. Jawabannya
terdapat dalam surat Adz-Dzariyat (51) ayat 56 yang berbunyi:

 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

 

Ayat ini dengan tegas menjawab,
bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah, menjadi
abdi Allah, Sang Pencipta dirinya. Setiap dakwah para pembawa risalah Allah
selalu mengajak ummat manusia untuk kembali kepada fitrah dirinya yang sejati,
yakni menjadi “hamba” dari Allah, Sang Tuan Semesta Alam, RAJA sejati ummat
manusia.

 

Sebagai seorang makhluk (hamba),
maka sudah sejatinya manusia mengabdi atau menghambakan dirinya (tunduk dan
patuh) hanya kepada Sang Pencipta dirinya, bukan mengabdi kepada tuan-tuan atau
raja-raja dunia selain DIA. Dengan kata lain, setiap manusia (hamba) harus
mampu meninggalkan segala bentuk pengabdian atau penghambaan (bukan
penyembahan) kepada tuan-tuan atau raja-raja dunia lainnya selain Allah, Sang
Tuan alam semesta, Raja sejati ummat manusia. Inilah sistem pengabdian yang
hagg dan fitrah bagi manusia. Inilah esensi dari tujuan penciptaan manusia.

 

Ketika manusia gagal memahami
eksistensi dirinya sebagai hamba Allah dan menjadi hamba dari tuan-tuan selain
Dia, maka dia menjadi manusia yang merugi. Pada dasarnya manusia itu akan
berada dalam kerugian hingga dia menjadi hamba yang sejati, yakni menjadi
manusia yan beriman dan melaksanakan segala perintah-Nya. Hamba sejati hanya
mengabdi kepada satu Ilah, yaitu Allah, Gambaran dari manusia yang terbebas
dari kerugian dapat dilihat dalam surat Al-‘Ashr (103) ayat 1-3 berikut ini:

 

‘Demi masa. ‘Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian, “kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

 

Perhatikan pula peringatan Allah
dalam surat At-Tin (95) ayat 4-6:

 

“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. “Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), “kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka ganjaran yang tiada
putus-putusnya.

 

Namun demikian, dalam kehidupan
manusia yang sekuler ini, kata “mengabdi” sering diganti dengan kata
“menyembah”, sehingga terjadi penyimpangan makna dan tata ritval, yang sering
disebut dengan istilah “ibadah”. Kata “ibadah” berasal dari kata bahasa Arab,
yakni kata abada-ya’budu-‘ibadah, yang berarti mengabdi, menghambakan diri,
merendahkan diri, dan tunduk. Jadi ibadah adalah wujud pengabdian seseorang
kepada Allah menurut tata aturan tertentu. Yang pasti, tujuan penciptaan
manusia adalah agar mereka senantiasa mengabdi, menghambakan diri, tunduk patuh
hanya kepada sistem hukum Allah, bukan sebatas menyembah-Nya.

Baca Juga : Prasangka Itu Pintu Dosa

 

Faktanya, manusia masih menjadi
hamba dari hawa nafsunya. Hanya lantaran ingin memenuhi keinginan dan kebutuhan
hawa nafsunya, manusia bersedia menjadi budak hawa nafsunya. Bahkan manusia
bersedia diperbudak oleh manusia-manusia lainnya yang lebih kuat, lebih pintar,
lebih kaya, atau yang lebih berkuasa demi memenuhi kebutuhan nafsunya. Inilah
perbudakan modern yang terjadi hari ini. Manusia beriman adalah manusia sejati
yang merdeka dari segala bentuk perbudakan, mengabdi hanya kepada Sang Pencipta
dirinya. Janganlah menjadi orang-orang yang musyrik, dimana Allah hanya
disembah dan dipuja-puji, namun Anda taatnya kepada aturan dan kekuasaan
manusia lainnya.

 

Dalam pemahaman kaum agamis, kata
“ibadah” seringkali diartikan dengan penyembahan dan diartikan sembahyang
(sembah Sang Hyang), yang identik dengan tata ritual dan sesembahan tertentu
dari seseorang kepada yang disembahnya. Penyimpangan arti kata “ibadah”, dari
“pengabdian, penghambaan diri” kepada “penyembahan” ini
berakibat pada penyimpangan akidah dan ibadah manusia kepada Allah. Kaum agamis
akhirnya terjebak pada kegiatan ibadah ritual semata dan sudah merasa cukup
dengan ibadah ritual tersebut, bahkan sudah merasa dirinya sebagai manusia
paling suci dan paling benar. Tidak terkecuali dalam terjemah Al-Qur’an yang
menggunakan kata “menyembah”, bukan “mengabdi”. Bukankah Allah meminta manusia untuk menghambakan
diri atau mengabdi (tanduk patuh) kepada-Nya, bukan untuk menyembah-Nya?

 

Perhatikan beberapa ayat Al-Qur’an
di bawah ini: Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat (5 1) ayat 56:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

 

Al-Qur’an surat Al-Fatihah (1)
ayat 5:

 

Hanya kepada-Mu lah kami
mengabdi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

 

Al-Qur’an surat Al-Bayyinah (98)
ayat 5:

 

Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) din yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan yang demikian itulah din yang lurus.

 

Al-Qur’an surat AlBagarah (2)
ayat 138:

 

Shibghah Allah. Dan siapakah yang
lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami mengabdi.

 

Al-Qur’an surat Mu’miniin (23)
ayat 47:

 

Dan mereka berkata: “Apakah
(patup kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaummereka
(Bani Israel) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?

 

Sahabatku…

 

Perubahan, pengaburan dan
penyimpangan makna “mengabdi” menjadi “menyembah” telah menjebak kesadaran religius
manusia kepada satu keyakinan, bahwa Allah YME cukup disembah dengan tata
ritual tertentu tanpa perlu menjalankan kehendak dan perintah-Nya dalam
kehidupan sehari-hari. “Betul, Allah itu Maha Kuasa, tetapi Dia hanya berkuasa
di alam raya, tidak pada alam manusia. Pada alam manusia, kita harus mengabdi
kepada apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, baik kepada ideologi atau
pemimpin/raja manusia di bumi”. Tentu saja pemahaman seperti ini telah jauh
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh Allah dan dari apa yang telah
diajarkan oleh para Rasul-Nya. Inilah akibat bagi mereka yang tidak mengenal
Allah.

 

Mengabdi kepada Allah tentu saja
bukan sebatas mengerjakan tata ritual (ibadah ritus) semata, tetapi esensi
ibadah adalah kesanggupan seorang mu’min untuk berkorban harta dan dirinya
dalam mewujudkan apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah pada kehidupan
manusia. Lalu bagaimana cara ibadah yang benar itu? Beribadah seperti yang
telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul Allah. Jika Anda beriman kepada Nabi
Musa, beribadahlah seperti yang dicontohkan olehnya. Jika Anda mengimani Nabi
Isa (Yesus Kristus), maka beribadahlah seperti yang diajarkan dan dicontohkan
oleh Nabi Isa. Dan jika Anda mengimani Nabi Muhammad, maka contohlah ibadah
yang dilakukan oleh beliau sejak periode makkiyah hingga madaniyah, dari
kondisi gelap hingga terbitnya fajar kemenangan Din al-Islam.

 

Agar manusia dapat beribadah,
tunduk patuh secara benar kepada-Nya, maka Dia mengajarkan wahyu-Nya kepada
manusia yang berisi sistem hukum universal sebagai pedoman dalam hidup dan
kehidupannya melalui perantaraan seorang manusia utusan (Rasul)-Nya. Saat seseorang
sudah menyadari fitrah dirinya sebagai hamba, maka dia tidak akan memiliki
tuan-tuan selain Allah dan juga tidak akan menjadikan dirinya sebagai
“tuan” atas dirinya dan manusia lainnya.

 

Kesadaran dasar tersebut yang
akan mengembalikan seseorang kepada posisinya yang sejati, yakni hamba dari
Sang Tuan ummat manusia. Kesadaran yang memerdekakan seseorang dari perbudakan
tuan-tuan duniawi, sehingga dapat beribadah secara merdeka. Kebersihan diri
dari kesadaran dan ideologi musyrik yang najis adalah syarat utama diterimanya
ibadah seseorang kepada-Nya. Maka tidak ada pilihan dan sikap lain bagi seorang
manusia, kecuali kembali kepada jati dirinya sebagai hamba, sepert apa yang
diinginkan oleh Sang Pencipta dirinya.

Baca Juga : Membaca Ayat-Ayat Makkiyah dan Madaniyah

 

Kesimpulannya, jati diri aku
sebagai manusia adalah hamba bukan tuan. Aku adalah makhluk, aku adalah hamba
Allah. Untuk itu, aku hanya pantas diperhamba (diperbudak) oleh Dia, TUAN
sejati ummat manusia. Aku

 

tidak boleh diperhamba atau
diperbudak oleh apa pun dan oleh siapa pun ternasuk oleh nafsu diriku sendiri.
Aku ingin dan harus menjadi hamba sejati, yakni manusia yang senantiasa
mengabdi (tunduk patuh) hanya kepada kehendak dan perintah Sang Pencipta agar
aku dapat menjadi manusia berkat bagi semesta alam.

 

Kiranya renungan dan kritik
spiritual di atas dapat menggugah kesadaran pikir dan spiritual Anda, serta
tidak lagi dipusingkan dalam mencari kebenaran sejati, mencari jati diri, atau
mencari DIA sebagai sumber dari segala sumber kebenaran sejati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *