Sumber gambar: freepik.com
Kata “Muslim”, secara bahasa adalah bentuk isim fā’il (keterangan pelaku) dari kata kerja “aslama-yuslimu-islāman” yang berarti ketundukan dan kepasrahan. Jadi “muslim” adalah setiap makhluk yang tunduk patuh dan berserah diri kepada sistem hukum Allah, Tuhan Semesta Alam, sehingga predikat ini dapat dialamatkan kepada makhluk apa saja yang aslama (tunduk patuh; taat) kepada sistem hukum-Nya.
Sedangkan kata “islām” adalah nama dari din Allah yang memuat seperangkat sistem dan aturan hukum yang dijadikan sebagai landasan pengabdian setiap makhluk kepada-Nya. Sehingga din al-Islam adalah sebuah sistem hukum yang mengatur kepatuhan setiap makhluk, khususnya umat manusia kepada Allah, Tuhan Semesta Alam, Tuhan YME.
Inilah makna “muslim” secara substansial, bukan makna formal yang hanya dialamatkan kepada mereka yang beragama Islam generasi pengikut Nabi Muhammad SAW, karena istilah Islam dan muslim sudah ada jauh sebelum kenabian Muhammad.
Rashīd Riḍā dalam Kitab tafsirnya menyatakan, muslim sejati itu adalah mereka yang tidak mempersekutukan Tuhan, ikhlas dalam beramal, apa pun agamanya, kapan pun dia hidup, dan di mana pun dia berada. Dengan demikian, mereka yang mengaku beragama Islam, namun tidak taat pada aturan hukum Allah, maka dia tidak termasuk orang-orang muslim.
Baca Juga: Makna Kata Rabb dan Ilah
Al-Quran, misalnya, menyebut nabi Ibrahim dan anak cucunya dengan sebutan “muslimūn” (jamak dari kata muslim) yang berarti; orang-orang yang tunduk patuh; berserah diri. Coba perhatikan beberapa ayat berikut:
Surat Al-Baqarah (2) ayat 128 dan ayat 131-133:
128 Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
131 Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.
132 Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anakanaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anakanakku! Sesungguhnya Allah telah memilih din ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk kondisi tunduk patuh”.
133 Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu abdi sepeninggalku?” mereka menjawab: “Kami akan mengabdi Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”
Penamaan “muslim” sudah ada sejak dahulu jauh sebelum era Muhammad SAW. lebih tegas lagi dikatakan dalam surat al-Ḥājj (22) ayat 78:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam dīn suatu kesempitan. (Ikutilah) dīn (millah) orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.
Pengakuan Nabi Yusuf (putera nabi Ya’qub) dalam doanya untuk menjadi muslim selama hidupnya, seperti tertuang dalam Al-Quran surat Yusuf (12) ayat 101, sebagai berikut.
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takdir mimpi. (Ya Tuhan). Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.
Kata “muslim” juga dapat dibaca dalam instruksi Nabi Musa kepada bangsanya dalam surat Yūnus (10) ayat 84:
Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang muslim (yang berserah diri).”
Penamaan kata “muslim” kepada kaum Nabi Luth pada surat Al-Dzāriyāt (51) ayat 35-36 sebagai berikut:
Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang muslim (yang berserah diri).
Kisah Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman dalam surat an-Naml (27) ayat 42:
Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: “Serupa inikah singgasanamu?” Dia menjawab: “Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang muslim (yang berserah diri)”.
Demikian pula kata “muslim” juga disandarkan kepada murid-murid dan pengikut Nabi Isa, seperti yang tertera dalam surat Āli ‘Imrān (3) ayat 52 dan al-Mā’idah (5) ayat 111:
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan din) Allah?” Para hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (dīn) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim (berserah diri).
Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut `Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku”. Mereka menjawab: “Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim (kepada seruanmu)”.
Baca Juga: Sejarah Kata Tuhan (Bagian 1)
Jelas sekali bahwa istilah “muslim” ini bukanlah istilah eksklusif hanya bagi generasi Muhammad SAW semata, tetapi juga kepada seluruh Nabi dan Rasul Allah sebelumnya. Untuk itulah setiap orang beriman tidak boleh membeda-bedakan keimanannya kepada para Rasul dan Kitab-kitab-Nya seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran surat Al Baqarah (2) ayat 136 sebagai berikut:
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
Begitu pula penegasan Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran (3) ayat 84-85 sebagai berikut:
84 Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.” 85Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi
Bahkan istilah “muslim” tidak hanya disandarkan kepada manusia semata, tetapi juga kepada setiap makhluk yang ada di semesta alam ini, baik makhluk hidup maupun makhluk yang tak hidup yang senantiasa tunduk patuh (aslama) kepada sistem hukum-Nya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran surat Āli ‘Imrān (3) ayat 83:
Maka apakah mereka mencari dīn (agama) yang lain dari sistem hukum Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa di antara umat manusia, masih banyak yang lebih condong atau mencari sistem hidup jahiliyah (yang batil) di luar sistem hidup yang sudah diberikan oleh Allah, yakni sistem Islam; sistem kepatuhan kepada Allah. Kedua, Allah ingin mengajak manusia untuk berfikir dan melihat alam sekitar, di mana semua makhluk ciptaan-Nya, baik yang di langit maupun yang di bumi telah aslama (tunduk patuh; berserah diri; muslim) kepada sistem ciptaan-Nya yang benar.
Baca Juga: Sejarah Kata Tuhan (Bagian 2)
Sudah semakin jelas, bahwa istilah “islam” atau “muslim” adalah sesuatu yang berlaku universal. Rujukan ayat-ayat di atas telah membuktikan bahwa di alam semesta ini ada satu din (sistem hidup dan kehidupan) ciptaan Allah yang berlaku dan ditaati oleh semua makhluk. Sikap tunduk patuh (aslama) kepada sistem itu, baik secara sukarela maupun terpaksa, yang menjadikan kehidupan alam ini berjalan secara seimbang dan teratur sesuai yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Sikap kepatuhan pada sistem Allah itulah yang disebut dengan “al-Islam”, baik yang ada pada alam semesta maupun yang tertulis dalam Kitab Suci. Sedangkan pelakunya disebut “muslim”, baik makhluk yang di alam maupun umat manusia.
Tunduk patuhnya seluruh makhluk ciptaan Allah (di luar manusia) kepada din (sistem) Allah, menyebabkan tidak adanya potensi kufur pada makhluk di alam. Potensi kufur itu hanya bisa terjadi dalam kehidupan manusia. Kita tidak akan mendapati hewan dan tumbuhan yang ada di bumi, maupun matahari dan bintang-bintang di langit yang kafir kepada Allah.
Satu-satunya makhluk yang berpotensi menjadi makhluk kafir hanyalah manusia. Oleh karenanya, dalam menempatkan Islam sebagai din Allah, ia tidak bisa diidentikkan antara din dengan agama. Islam tidak bisa dilihat hanya sebatas agama dengan berbagai tata ritual di dalamnya.
Baca Juga: Hukum Pergiliran
Din al-Islam adalah suatu sistem hidup yang haq dan berlaku universal bagi seluruh makhluk-Nya, tidak boleh dipersempit hanya pada masalah agama (ibadah ritual) belaka. Mempersempit makna din al-Islam menjadi agama Islam, maka berarti mengubah fungsi dari din ciptaan Allah.
Akibatnya, manusia akan berpikir sekuler, karena Allah hanya berkuasa pada kehidupan alam semesta (Raja di langit) dan tidak berkuasa pada kehidupan umat manusia. Sehingga yang ditaati oleh manusia sekuler adalah manusia lainnya yang memposisikan dirinya sebagai raja atau tuhan (sistem musyrik).
Begitu halnya jika berbicara soal “Islam”, maka selalu disandarkan pada sebuah agama yang berorientasi pada nabi Muhammad SAW., seorang nabi yang lahir di negeri Arab pada abad VII M dan oleh para pengikutnya diyakini sebagai nabi terakhir dan pembawa agama terakhir dan terlengkap.
Muncul beberapa argumen mengapa definisi akan “Islam” perlu ditinjau ulang. Pertama, arti pokok dari kata Arab “Islām” adalah kepatuhan atau penyerahan diri. Makna ini diambil dalam rangka mengenal kedaulatan Allah dan memasuki rasa kedamaian milik-Nya (salām).
Kedua, Hadits nabi yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama natural bagi semua umat manusia (kullu maulūdin yūladu ‘alā al-fiṭrah,…). Ketiga, beberapa ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa nabi-nabi sebelum Muhammad adalah Muslim, seperti dijelaskan di atas.
Baca Juga: Hukum Ajal Kekuasaan
Dari sini, Neal Robinson dalam bukunya “Pengantar Islam Komprehensif” (2001: 22-24) menyimpulkan, bahwa inti keyakinan dan praktek-praktek keagamaan semua nabi adalah identik dengan apa yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad.
Dalam Injil, Yesus (Nabi Isa) pun mengajarkan tentang sikap “tunduk patuh” atau “berserah diri”. Dengan kata lain, Yesus pun mengajarkan sistem tunduk patuh (dīn al-Islām) kepada kehendak dan perintah Allah, Tuhan YME. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat di bawah ini:
Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapaku yang di sorga. (Matius 7:21)
Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri; aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku. (Yohanes 5:30)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “muslim” bukanlah istilah eksklusif yang semata dialamatkan kepada pengikut Nabi Muhammad atau mereka yang beragama Islam semata, namun bersifat universal kepada siapa saja yang tunduk patuh (aslama) pada sistem hukum Allah (dīn al-Islām) sejak zaman dahulu (Adam as.) hingga kini.
Dari sini, dapatlah dipahami mengapa Allah menegaskan bahwa, sesungguhnya dīn (sistem hukum) yang dikehendaki oleh Allah hanyalah dīn al-Islām (sistem kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum Allah). Coba perhatikan Al-Quran surat Ali Imran (3) ayat 19 dan ayat 85 berikut ini:
Sesungguhnya din (agama) (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Barang siapa mencari din (agama) selain din (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Dengan demikian, makna al-Islām yang sejati adalah sistem kepatuhan dan ketundukan makhluk (khususnya manusia) kepada hukum Allah yang diajarkan-Nya kepada setiap nabi dan rasul yang diutus-Nya pada setiap bangsa yang berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan, sejak dahulu, kini, hingga masa datang, yang tidak pernah berubah dan berganti, baik dalam hal aqidah (iman) maupun syariat (hukum).