HIDUP ADALAH
IBADAH
mengabdi dengan
harta dan diri kepada ALLAH,
Sang pencipta alam
semesta,
Pusat pengabdian
seluruh makhluk di alam semesta,
dengan harta dan
diri
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang Saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman Sentosa, Mereka tetap mengabdi kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik [QS. 24:55]
Sahabatku…
Setelah merenungi beberapa
persoalan spiritual sebelumnya, akhirnya kita sampai pada satu renungan yang
sangat penting untuk dipahami. untuk itu, sebaiknya Anda tidak membaca renungan
ini sebelum baca renungan-renungan sebelumnya, agar tetap dalam satu rangkaian
renungan yang dan pemahaman yang utuh.
ini adalah sesuatu yang fundamental dalam Din Al-Islam. Keduanya ibarat dua
sisi mata uang. Islam sebagai Din adalah sebuah sistem hukum yang menjadi dasar
bagi kehidupan manusia, Sedangkan Khilafah adalah penegak dan penjaganya. Sesuatu
yang tidak memiliki fondasi (dasar) pasti akan binasa, dan sesuatu yang tidak
memiliki penjaga akan hancur. Islam sebagai sebuah sistem hukum membutuhkan
adanya penegak dan penjaga system.
Baca Juga : Apakah Musyrik itu ?
Ironinya. Akhir-akhir ini kita
mendengar dari berbagai media tentang pemikiran dan aspirasi politik kelompok
mayoritas (dalam segi sosial politik) yang menentang atau tidak setuju dengan
ide atau gagasan sekelompok umat Islam yang ingin menegakkan Khilafah di Nusantara
ini. Bahkan Lembaga, ormas, dan partai politik yang berlabel Islam sekalipun
saling bersahutan menentang gagasan tersebut. Bagi kelompok nasionalis, Sistem
Khilafah adalah utopis atau hanya ilusi umat Islam. Khilafah Islamiyah hanyalah
nostalgia umat Islam di masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kondisi
kekinian yang serba modern, terbuka, toleran, liberal, dan plural.
Bahkan bagi kelompok nasionalis menilai
ide atau gagasan penegakan Khilafah itu bertentangan dengan ideologi Pancasila
dan akan menghancurkan NKRI, bahkan melenyapkan nama Negara Republik Indonesia
dari peta dunia. Tidak heran jika komunitas atau organisasi yang setuju dengan Sistem
Khilafah dianggap dan diduga akan melakukan makar kepada negara yang pluralis
ini dan olehnya itu, harus dilarang dan dibubarkan. Mereka mengaku muslim
tetapi Fobia terhadap Khilafah Islamiyah. Siapapun yang setuju dan berjuang menegakkan
Khilafah akan dinilai sebagai arti Pancasila, kaum fundamentalis, Radikal atau
ekstrimis.
Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?
Pada renungan terdahulu telah
ditegaskan, bahwa unsur Khilafah (Kekuasaan) dan Khalifah (Pemimpin; atau Penguasa)
adalah salah satu unsur yang harus ada dalam rangka menegakkan Din Al Islam
sebagai sistem hukum positif; sistem yang berlaku dalam seluruh segi kehidupan
ummat manusia di muka bumi, yakni pada satu wilayah teritori kekuasaan politik,
bisa di Nusantara, Australia, Eropa, atau wilayah lainnya. Apakah di Negara Republik
Indonesia yang berideologi Pancasila dapat ditegakkan atau diterapkan Sistem Khilafah?
Secara prinsip, bumi ini adalah bagian dari adalah bagian dari “Kerajaan
Allah”, sehingga di manapun wilayah yang ada yang ada dapat dijadikan oleh Dia sebagai
pusat dari Kekuasaan (Khilafah)-Nya, termasuk di negeri ini. Terlebih Khilafah tersebut
adalah bentuk anugerah (nikmat) yang Dia berikan kepada mereka yang pantas
menerimanya.
Secara
politik tidak boleh ada dua ideologi atau dua sistem hukum dalam satu negara. Sehingga selama suatu negara bangsa masih berideologi
nasionalis pluralis (musyrik) maka Allah tidak akan mengizinkan dan meridhoi sistem
hukum-Nya diterapkan di wilayah tersebut. Sistem hukum yang hak tidak boleh bercampur
dengan sistem hukum yang batil. Hukum Allah yang suci tidak boleh diterapkan di
suatu wilayah yang masih najis. Dengan demikian, tidak boleh memaksakan berdirinya Khilafah Allah dalam
suatu negara bangsa yang kafir musyrik.
Baca Juga : Islam Bukan Agama
Allah sendiri yang akan memilih dan
menentukan dimana pusat wilayah Khilafah-Nya akan ditegakkan. Allah juga akan
memilih siapa orang-orang yang menjadi aktor dari tegaknya Khilafah-Nya di muka bumi. Dia pula telah menetapkan kapan Khilafah-Nya akan ditegakkan di muka bumi ini
dan kapan Dia akan membinasakan kekuasaan negara-negara bangsa yang kafir
kepada-Nya. Perhatikan Al-Quran Surat Ali Imran (3) ayat 26 berikut ini:
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang
mempunyai kerajaan, Engkau memberi kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya engkau maha kuasa atas segala
sesuatu.
Perhatikan pula surat Al-A’raf 7 ayat 34 :
Tiap-tiap ummat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya.
Namun demikian, yang akan menjadi fokus
dengan tulisan ini bukanlah hal tersebut, renungan ini akan mengkritisi beberapa
pertanyaan dasar seputar “Khilafah”. Apakah Al-Quran berbicara soal Khilafah atau
Khalifah? Apa saja yang Allah Jelaskan seputar masalah “Khilafah” tersebut? Lalu
bagaimana cara Allah menegakkan Khilafah-Nya di muka bumi? Pertanyaan-pertanyaan
ini penting untuk dijelaskan dalam menjawab keraguan sebagian umat Islam tentang
Khilafah dan semoga dapat menghilangkan penyakit “fobia Khilafah” dari mereka
yang lebih mencintai ideologi negaranya dibanding mencintai ideologi Allah, Sang
Pencipta diri dan bangsanya.
Ketakutan dan kecurigaan terhadap
konsep Khilafah tersebut muncul akibat gagal paham terhadap Din Al Islam yang
gagal paham terhadap ayat-ayat Allah. Mereka berpandangan bahwa islam itu adalah
sebuah agama yang tidak mengatur soal politik (negara). Al-Quran tidak berbicara
soal (politik) negara dan tidak ada penjelasan rinci tentang tata aturan
bernegara di dalamnya. Mereka berpandangan sekuler dalam melihat hubungan (Islam) dan kekuasaan (negara).
Baca Juga : Apakah Anda Seorang Muslim ?
Dalam pemikiran politik Islam sendiri, sejak zaman
klasik hingga zaman modern, berkembang tiga paradigma tentang relasi agama (Islam) dan politik (negara Khilafah).
Pertama, kesatuan konsep agama (Islam) dan politik (negara-khalifah). Islam dipandang sebagai agama dan politik sekaligus
atau yang sering disebut dengan ungkapan, “Islam adalah agama dan negara” (al-Islam din wa dawlah). Kelompok ini melihat Islam sebagai Din totalitas dalam
pengertian meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk politik (kekuasaan). Khilafah adalah institusi politik dan keagamaan sekaligus.
Kedua, agama (Islam) dan
politik (dalam wujud negara) memiliki hubungan secara simbol simbiotik, yakni
berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan.
Ketiga, bersifat sekuleristik. Paradigma ini menolak, baik
hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antar agama dan
khilafah atau negara. Islam dan politik adalah dua aktivitas yang terpisah dan
tidak ada relasi di antara keduanya. Paradigma ini memandang tidak adanya
aturan baku soal teori negara dan sistem kekhalifahan dalam Islam, sembari mengingkari fakta-fakta sejarah peradaban Islam dan menolak pendasaran
negara pada Islam (Negara Islam).
Pandangan sekuler tersebut yang hari ini
mendominasi pemikiran dunia tentang Khilafah, tidak terkecuali mayoritas ummat Islam di Indonesia. Bahkan di kalangan ummat Islam yang setuju dengan konsep
khilafah atau penerapan Syariah Islam di Indonesia pun memiliki orientasi
politik yang berbeda. Setidaknya ada tiga orientasi pemikiran politik Islam di
Indonesia saat ini. Ada tiga arus utama yang muncul dalam peta politik ummat Islam
Indonesia, yakni:
1) Arus formalistik; pemikiran yang mempertahankan pelaksanaan
yang ketat dari bentuk Islam yang formal, misalnya formalisasi partai politik
Islam (menggunakan nama Islam), simbol-simbol Islam, dan landasan organisasi secara
konstitusional Islam; 2) Arus Substantivistik; orientasi politik yang menekankan pada
manifestasi substansi nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik, baik dalam
ide-ide maupun kelembagaannya; dan 3) Arus Fundamentalis; berorientasi untuk
mengangkat kembali sendi-sendi Islam ke dalam realitas politik
kekinian. Arus ini berpendapat bawah kedua arus utama yang lain telah gagal
menunjukkan Islam sebagai keseimbangan tandingan dalam merespon sistem politik indonesia. Dari ketiga arus utama tersebut, kelompok ketiga lah yang
selalu menjadi “batu sandung politik” bagi kelompok nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam
Lalu bagaimana sesungguhnya
pandangan Al-Quran terhadap Khilafah tersebut? Apa saja yang Allah jelaskan dalam
kaitanya dengan Khilafah dan Khalifah, termasuk prinsip-prinsip dasar dalam
kekhalifahan itu sendiri?
Khilafah Dalam Al-Quran
Bagi mereka yang mengimani
Al-Quran sebagai Kitab Petunjuk, maka Al-Quran sejatinya adalah Kitab yang menjelaskan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia di muka bumi. Sudah menjadi fungsi Al-Quran untuk menjadi rujukan utama dan sumber kebenaran sejati
bagi ummat Islam, tidak terkecuali persoalan Khilafah (kekuasaan politik) yang
merupakan salah satu unsur utama dalam Din Al-Islam dan unsur penting dalam
kehidupan sosial masyarakat bangsa. Perhatikan firman Allah dalam surat Yusuf (12) ayat
111:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Masalah khilafah dan
khalifah adalah salah satu tema penting dalam Al-Quran karena terkait dengan
persoalan bagaimana menata kehidupan umat manusia. Tanpa adanya kekuasaan (khilafah) dan penguasa (Khalifah), maka sudah dapat
dipastikan sistem hukum tidak dapat diterapkan sehingga akan tercipta kehidupan
yang kacau, timpang, dan zalim (tidak adil). Keadilan, kedamaian dan
kesejahteraan tidak akan mungkin tercipta tanpa adanya kekuasaan atau penguasa (khilafah atau khalifah). Begitu pentingnya persoalan kekuasaan (khalifah), maka tidak
mungkin tidak dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran. Apakah persoalan tersebut
dijelaskan secara terperinci atau hanya sebatas prinsip-prinsip dasarnya, bukanlah
hal yang dapat dijadikan alasan untuk menafsirkan persoalan khilafah
Secara bahasa, kata “khilafah” dan “khalifah” berasal dari kata “khalafa” yang memiliki arti dasar mengganti, belakang, perubahan, suksesi. Dan kata “Khilafah” tidak ada di dalam Al-Quran, tetapi menjadi istilah politik dalam menyebut bentuk pemerintahan atau
kekuasaan yang berasaskan ideologi Allah (Din Al-Islam). Sedangkan kata “khalifah” yang berarti pemimpin; penguasa; khalifah, terulang 2 kali dalam Al-Quran, yakni
dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 30 dan surat Shad (38) ayat 26 berikut ini:
Ingatlah ketika Robb-mu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal kami
senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Hai Daud, Sesungguhnya
kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena itu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Kedua ayat di atas berbicara tentang Khalifah (penguasa; pemimpin) baik Nabi Adam maupun Nabi Daud. Sebagai Khalifah, Adam di tugaskan untuk
memimpin ummat manusia, Memakmurkan bumi, mencegah terjadinya pertumpahan darah (peperangan) dan menjalankan segala perintah-Nya. Sedangkan Daud diperintahkan
untuk menegakkan hukum secara adil di antara ummat manusia tanpa ada
perbedaan, dan larangan untuk mengikuti hawa nafsunya. Menuruti keinginan hawa
nafsu dapat menyebabkan keputusan yang tidak adil. Jelaslah, bahwa adanya
Khalifah (penguasa; pemimpin politik), maka tidak akan ada keadilan, kedamaian, dan
kemakmuran. Para aparat kekuasaanlah yang akan bertugas menegakkannya.
Bersambung di : Antara Islam dan Khilafah Bagian 2