Teodisi.com : Kata “khalaif?” (bentuk jamak
dari khalifah)” terulang sebanyak empat kali dalam Al-Quran, yakni dalam .
surat Al-An’am (6) ayat 165, surat Yinus (10) ayat 14 dan 73, serta surat
Fathir (35) ayat 39. Mari kita renungi ayat-ayat tersebut.


Antara Islam dan Khilafah Bagian 2

 Al-Quran surat Al-An’am (6) ayat
165 :

 

Dan Dialah yang menjadikan kalian
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Pada ayat ini dengan tegas Allah
menyatakan, bahwa Dia sendiri yang menjadikan “kalian”, yakni Rasulullah
Muhammad beserta orang-orang beriman sebagai “khalaif” (penguasa-penguasa) di
bumi. Tentu saja yang dimaksud penguasa (khalifah) di sini adalah penguasa
politik dalam satu wilayah tertentu dengan struktur kekuasaan tersendiri dan
tentu saja dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Hal ini dipertegas dengan
kalimat, “Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat”.

 

Al-Quran surat Yunus (10) ayat
14:

 

Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti
(mereka berkuasa) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan
bagaimana kamu berbuat.

 

Sebagian penafsir menafsirkan
kata “khalaif” dengan “pengganti-pengganti” (mereka berkuasa) di muka bumi,
Sudah sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan “khaliif” adalah
penguasa-penguasa di muka bumi, sebagai kelanjutan misi Khilafah Allah dari
para Rasul Allah sebelum “kalian” yakni Rasulullah Muhammad dan para
pengikutnya, seperti disebutkan pada ayat sebelumnya (ayat 13). Hal ini adalah
Tradisi Allah yang selalu berulang.

 

Al-Quran surat Yunus (10) ayat
73:

 

Lalu mereka mendustakan Nuh, maka
Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami
jadikan mereka itu pemegang-pemegang Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang diberi peringatan itu.

 

Ayat ini berbicara tentang proses
Allah menjadikan Rasulullah Nuh as. beserta pengikutnya sebagai Khalifah
“(penguasa) pada zaman mereka. Ayat ini sekaligus menjawab bagaimana kelanjutan
cerita Nabi Nuh setelah Dia “menenggelamkan” kekuasaan penguasa zalim saat itu dan
beliau beserta ummatnya selamat dari ancaman air bah. Tegasnya, Nabi Nuh
berhasil menjadi Khalifah (penguasa) dan dilanjutkan oleh orang-orang beriman
pada zamannya.

 

Al-Quran surat Fathir (35) ayat
39:

 

Dialah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Rabb-nya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.

 

Penjelasan ayat ini selaras
dengan penegasan Allah dalam surat Al-An’am (6) ayat 165 di atas.

 

Sedangkan kata “khulafa” (juga
bentuk jamak dari khalifah) terulang sebanyak tiga kali dalam Al-Quran, yakni
dalam surat Al-A’raf (7) ayat 69 dan 74, dan surat An-Naml (27) ayat 62 di
bawah ini:

 

Apakah kamu (tidak percaya) dan
heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Rabbmu yang dibawa oleh seorang
laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu
sekalian di Waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh
dan perawakanmu (dari pada kaum Nuh itu). Maka ingatlah ni’mat-ni’mat Allah supaya
kamu mendapa keberuntungan.

 

“Dan ingatlah olehmu di waktu
Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum “Aad dan
memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya
yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
ni’mat-ni’mat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan.

 

Atau siapakah yang memperkenankan
(doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah
di bumi? Apakah di samping Allah ada tuan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya).

Baca Juga : Antara Islam dan Khilafah Bagian 1

 

Dari beberapa ayat ini dan
beberapa ayat sebelumnya sudah semakin menegaskan bahwa masalah Khalifah (kekuasaan
politik) adalah salah satu tema penting yang dijelaskan Allah dalam Al-Quran.

 

Kata lain yang juga digunakan Al-Quran
untuk mewujudkan makna “khalifah” adalah kata “istakhlafa yastakhlifu” yang
berarti menjadikan penguasa, pemimpin, khalifah. Penggunaan kata “yastakhlifu”
tersebut dapat dilihat dalam surat Al-A’raf (7) ayat 129 berikut ini:

Kaum Musa berkata: “Kami
telah ditindas (oleh Firaun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu
datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan
menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana
perbuatanmu.

 

Begitu pula dalam surat An-Nur
(24) ayat 55 di bawah ini:

 

Dan Allah telah berjanji kepada
orang-oranng yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka din yang selah diridai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap mengabdi kepada-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

 

Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa, yang dimaksud dengan “Khalifah” adalah seseorang yang
diangkat menjadi pengganti dari posisi seseorang yang digantikannya, baik
fungsi yang melekat pada dirinya secara inheren atau secara jabatan. Dalam
konteks politik (khilafah), maka seorang khalifah adalah seseorang yang diberi
amanat untuk melaksanakan suatu kekuasan atas nama penguasa yang digantikannya.

 

Seorang Rasul disebut sebagai
“Khalifah Allah” di bumi dalam arti sebagai penguasa dan pengganti Allah dalam
menjalankan fungsifungsi Ilahiyah (sebagai Rabb-Malik-Ilah) dalam kehidupan
manusia. Begitu pula para khalifah setelah Rasulullah Muhammad wafat disebut
“khalifah Rasul” karena berfungsi sebagai pengganti Rasulullah dalam memimpin
suatu kekuasaan (pemerintah), mulai dari masa Khulafa’ur Rasyidin, Khilafah
Umayyah, hingga masa Khilafah Abbasiyah.

 

Mereka secara bergantian menjadi
khalifah (pemimpin, penguasa) dalam menegakkan dan menjaga kekuasaan Allah di
muka bumi. Secara esensial, para Khalifah adalah pemegang kuasa atau mandat
dari Allah, Sang Penguasa dan Pemilik alam semesta. Untuk itu, mereka memimpin
dan menata dunia “atas nama Allah”.

Baca Juga : Apakah Musyrik Itu ?

 

Berdasarkan pengertian Khalifah
di atas dan penegasan beberapa ayat Al-Quran sebelumnya, maka dapat ditegaskan
bahwa kedudukan seorang Khalifah dalam Khilafah Allah adalah sebagai wakil atau
pengganti Allah dalam mengatur, menata, dan memakmurkan kehidupan ummat manusia
dan alam sekitarnya di bumi ini.

 

Seorang Khalifah berkewajiban sebagai
penguasa dan pengatur kehidupan ummat manusia agar tercipta kehidupan yang
harmonis, adil, damai, dan sejahtera. Dari sini dapat dipahami, bahwa adanya
Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah adalah sarana dalam menegakkan dan
melaksanakan syariat Allah, Hal ini logis, karena penegakan hukum Allah di
tengah-tengah kehidupan manusia baru dapat berjalan secara efektif (mengikat
dan mernaksa) manakala didukung oleh kekuasaan politik (Khilafah). Khalifah
sebagai wakil Allah dan penegak hukum-Nya di bumi harus (wajib) ada di dalam
suatu komunitas ummat manusia (bangsa-bangsa).

 

Negara dan Khilafah

 

Dari penjelasan singkat di atas
tentang kedudukan dan fungsi khilafah dan khalifah dalam Din al-Islam, maka
dapat disimpulkan bahwa keberadaan khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah
adalah wajib dan harus diperjuangkan. Hukum Allah tidak akan dapat ditegakkan
dalam kehidupan manusia manakala tidak ada kekuasaan politik (khilafah) yang
dipimpin oleh seorang khalifah (imam; ulil amri).

 

Din al-Islam sebagai sistem hukum
universal tidaklah mengizinkan ummatnya untuk membuat undang-undang atau hukum
dengan sekehendak hatinya sendiri atau mengikuti kehendak sekelompok elit
bangsa. Allah telah membekali manusia dengan syari’at-Nya dalam mengatur segala
kepentingan dan kebutuhan hidup manusia di bumi, sehingga segala undang undang
atau hukum yang dibuat harus berdasar pada hukum Dia.

 

Untuk itu, diperlukan satu
kedaulatag penguasa politik (khilafah) untuk dapat menegakkannya. Menegakkan
hukum Allah dalam kehidupan orang-orang beriman dan kaum muslimin adalah Wajib,
maka keberadaan khilafah beserta aparaturnya pun adalah wajib. Hal ini sejalan
dengan kaidah hukum, “Ma Ia yatimmu alwajib illa bihi fahuwa wajib” (suatu
kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau
sarananya itu juga hukumnya wajib). Menegakkan Din al Islam (sistem hukum
Allah) dalam kehidupan adalah wajib, sedangkan alat untuk dapat menegakkan Din
Allah tersebut adalah adanya khilafah (kekuasaan politik). Artinya, keberadaan
Khilafah pun adalah wajib.

Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?

 

Dalam bahasa umum, kekuasaan
politik itu adalah negara, ada banyak definisi negara yang dikemukakan oleh
para ahli, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Dari beberapa definisi
yang ada dapat disimpulkan bahwa negara adalah sekumpulan manusia yang secara
tetap mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki institusi pemerintahan dan
sistem yang dipatuhi oleh para aparat kekuasaan dan masyarakatnya serta
memiliki kedaulatan politik.

 

Dalam hukum internasional, negara
sebagai kesatuan poluk sekurang-kurangnya memiliki empat unsur, seperu
dirumuskan dalam Konvensi Montevideo, yakni: 1) penduduk yang tetap, 2) wilayah
tertentu, 3) pemerintah, dan 4) kemampuan mengadakan hubungan dengan
negarancyara lain.

 

Sedangkan Al-Mawardi, seorang
pemikir Islam, menyebut ada lima unsur pokok dalam suatu negara, yakni: 1) ideologi
sebagai landasan negara dan persatuan rakyat, 2) wilayah, 3) penduduk, 4)
pemerintah yang berwibawa, dan 5) keadilan atau keamanan. Bagaimanapun, negara
adalah sebuah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok manusia dalam
rangka mewujudkan satu cita-cita bersama, Untuk itu, setidaknya negara harus
memiliki unsur wilayah, penduduk, dan pemerintah.

 

Agar penduduk dan pemerintah
memilik hubungan timbal balik yang harmonis dan damai, maka harus ada sistem
hukum (konstitusi) yang harus ditegakkan dan mengikat semua unsur masyarakat
yang ada di wilayah tersebut.

 

Jika disusun secara sistematis,
maka ada empat unsur pokok yang harus dimiliki oleh sebuah negara, yakni: 1)
Sistem hukum atau konstitusi yang dirumuskan berdasarkan pada satu landasan
ideologi, 2) Pemerintah (penguasa) yang bertugas untuk menjaga dan menegakkan
konstitusi secara konsisten dan adil: 3) Rakyat atau penduduk yang wajib taat
pada konstitusi dan pemerintah, dan 4) Wilayah yang menjadi tempat tinggal dan
tempat berlakunya sistem hukum tersebut.

Baca Juga : Islam Bukan Agama

 

Bila melihat apa yang
diperjuangkan dan apa yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad di Madinah, maka
telah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai “Negara Madinah”. Namun
demikian, meski Khilafah yang dibangun oleh Rasulullah memiliki unsur-unsur
yang sama dengan sebuah negara bangsa, tetap saja terdapat perbedaan yang
mendasar dari keduanya (negara dan khilafah).

 

Beberapa perbedaan yang prinsip
antara negara dan khilafah itu adalah:

 

a.      
Ideologi dan Konstitusi.

 

Ideologi dan Konstitusi dari negara-negara bangsa
adalah sesuatu yang berpusat dan bersumber pada nilai-nilai materialisme, baik
liberal kapitalis yang dianut oleh negara-negara Blok Barat maupun sosialis komunis
yang dianut oleh negara-negara Blok Timur, sehingga konstitusinya pun mengacu
pada ideologi dasar tersebut. Hukum yang berlaku bersumber dari hukum konsensus
pendiri negara bangsa atau hukum warisan penjajah.

 

Sedangkan dalam sistem Khilafah, ideologinya berpusat pada
nilai-nilai keimanan kepada Allah (tauhid) dan konstitusinya harus berdasar
pada keimanan dan hukum Allah yang tertuang di dalam Kitab-Nya. Hukum yang
berlaku pun adalah hukum-hukum yang bersumber dari syariat Allah.

 

b. Sistem Pemerintahan.

 

Sistem pemeritahan yang saat ini
digunakan oleh negara-negara bangsa di dunia, ada yang pemerintahan
parlementer, presidensial, semi-presidensial, komunis atau demokrasi liberal.
Masing-masing sistem ini memiliki tata pemerintahan tersendiri, termasuk sistem
pemilihan pemimpin negara masing-masing. Hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk
negara masing-masing, yang umumnya berbentuk negara kesatuan atau negara
federasi (serikat). Adapun sifat dari seluruh negara adalah nasionalis yang
kekuasaanya bersifat tetap dan dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Calon
pemimpinnya bisa berasal dari golongan mana saja selama masih berstatus warga
negara bersangkutan (demokratisegaliter).

 

Sedangkan dalam sistem
pemerintahan Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah, yang dipilih dari
kalangan orang-orang beriman saja, tidak boleh dari mereka yang beragidah kafir
musyrik. Sistem pengangkatan seorang Khalifah dalam sejarah peradaban Islam
dapat dikategorikan ke dalam dua pola, yaitu pengangkatan berdasarkan nash atau
wasiat dan pengangkatan berdasarkan syura atau pemilihan.

Baca Juga : Apakah Anda Seorang Muslim ?

 

Pelaksanaan — syura —
(musyawarah) — dalam pengangkatan Khalifah dapat ditempuh melalui tiga cara:
pertama, melalui pemilihan bebas yang dilakukan melalui musyawarah, tanpa ada
pengangkatan atau penunjukan oleh seseorang, kedua, pengangkatan atau
penunjukan dari Khalifah yang berkuasa terhadap seseorang: dan ketiga,
pengangkatan atau penunjukan oleh Khalifah yang berkuasa terhadap beberapa
orang, tiga atau lebih, yang merupakan tokoh-tokoh utama dalam masyarakat untuk
selanjutnya dipilih menjadi Khalifah. Ketiga pola di atas merujuk pada proses pengangkatan
keempat Khalifah pada masa Khulafa Rasyidin.

Bersambung di : Antara Islam dan Khilafah Bagian 3

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *