Bila seseorang mengimani Kitab Al-Qur’an, berarti dia meyakini seluruh firman (wahyu) di dalamnya sebagai ketetapan dan kehendak Allah yang harus dijalankan tanpa ada keraguan dan ketakutan sedikit pun. Janganlah Anda takut kepada mereka yang dapat membunuhmu secara darah daging, tetapi takutlah kepada DIA yang dapat mematikan Jiwa dan ragamu.
AL-QUR’AN SEBAGAI “KITAB SEJARAH”
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf (12): 111)
Sahabatku …
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu
sumber kebenaran ilahi adalah wahyu Al-Qur’an. Kita patut bersyukur kepada para sahabat Rasulullah Muhammad yang telah berhasil menyusun Al-Qur’an yang kini menjadi kitab yang paling banyak dibaca manusia, bahkan dihafalkan. Meski demikian, kemampuan membaca dan menghafal AlQur’an tidak berkaitan langsung dengan kedamaian dan kesejahteraan ummat manusia dan alam sekitar. Tradisi membaca atau mempelajari Kitab Al-Qur’an umumnya hanya dijadikan sebatas pengetahuan dan sumber mendapat pahala dan imbalan materi. Sesuatu yang berbeda dari maksud Allah mewahyukannya kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad.
Dengan kata lain, ummat manusia atau ummat Islam belum mampu bersikap secara benar terhadap Al-Qur’an sehingga dia betul-betul dapat menjadi Kitab Petunjuk dalam hidup dan kehidupan manusia. Fenomena yang terlihat saat ini adalah Kitab Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang beredar di tengah masyarakat belum mampu membangkitkan minat manusia untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab yang hidup, Kitab Petunjuk yang dipandang sebagai wahyu instruksional Allah yang aktual pada saat ini bagi mereka yang membacanya. Lagi-lagi yang menjadi niat si pembaca hanyalah hasrat untuk mendapat pahala. Selebihnya, manusia membaca Al-Qur’an tak ubahnya dengan membaca sebuah buku dongeng atau fiksi, sesuatu yang tidak bisa diterapkan dalam keseharian.
Kali ini penulis mengajak sahabat untuk merenungkan kedudukan Al-Qur’an sebagai Kitab Allah, yakni ayat-ayat Allah yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum dan petunjuk hidup manusia, dan secara khusus mengajak para sahabat merenungi ayat-ayat AlQur’an yang berisi tentang kisah-kisah para Nabi dan Rasul Allah, agar semuanya menjadi ayat petunjuk dan penerang dalam kehidupan ini.
(Setara bahasa) kata “qur’an” berarti “bacaan” yang berasal dari kata dasar “gara’a”, membaca. Kata Al-Qur’an sendiri berbentuk mashdar dalam arti isim maful yakni “magru’” (yang dibaca). Sedangkan secara definitif, Al-Qur’an dimaknai dengan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab yang tertulis dalam satu mushaf dimulai dari surat Al-Fatihah (1) dan diakhiri dengan surat An-Nas (114).
Al-Qur’an bukanlah satu kitab yang diturunkan sekaligus kepada Nabi Muhammad dalam bentuk tertulis di atas kertas, melainkan merupakan suatu himpunan informasi Allah (wahyu) atau firman yang diturunkan secara berangsur-angsur dalam bahasa Arab yang terurai secara jelas (gur’anan ‘arabiyyan) selama hampir 23 tahun. Wahyu tersebut disampaikan dan dibacakan oleh Nabi Muhammad dan selanjutnya dihafalkan dan ditulis oleh para sahabat Nabi. Selanjutnya, hafalan dan tulisan tersebut dikumpulkan dan disusun dalam suatu mushaf Al-Qur’an pada masa pemerintahan Khalifah “Utsman bin Affan. Ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an yang ada saat ini diyakini disusun sesuai dengan arahan langsung dari Rasulullah Muhammad.
Dalam bentuknya yang terlihat saat ini, Kitab Al-Qur’an terdiri atas 30 juz (bagian), 114 surat, 6.236 ayat dengan 77.439 kosakata, dan 323.015 jumlah hurufnya. Al-Qur’an berisi tentang masalah keimanan (agidah), peraturan-peraturan hukum yang mengatur tingkah laku dan tata hidup dan kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, dan persoalan hidup yang hak dan yang batil.
Adapun mengenai bagaimana cara Allah berkomunikasi (mewahyukan sesuatu) kepada manusia, dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) ayat 51 dengan tiga cara:
Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizib-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Hal ini pernah dipertegas oleh ‘Toshihiko Izutsu dalam bukunya “God and Man in The Koran” yang Mengatakan, ada tiga bentuk komunikasi verbal Allah kepada manusia yaitu, komunikasi misterius (mysterious communication), berbicara dari balik tabir (speaking from bebind the veil), dan mengirim utusan (the sending of a messenger).
Dari segi periodisasi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, dibagi menjadi ayat-ayat makkiyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah, dan ayat-ayat madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah. Sedangkan dari jenis ayatnya, Dia membagi ayat-ayat Al-Qur’an menjadi ayat muhkamat (ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum) dan ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat metaforis, alegoris, perumpamaan). Meskipun bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa Arab, namun tidak berarti semua ayat dapat serta merta dipahami dan dimengerti seluruhnya dengan benar oleh masyarakat Arab atau generasi ummat Islam. Hal ini disebabkan karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa wahyu yang suci sehingga tidak semua manusia dapat memahaminya. Selain itu, penggunaan bahasa Arab dalam pergaulan sosial terus mengalami perkembangan.
Dalam beberapa literatur atau mungkin dalam beberapa ceramah agama, Anda sudah sering membaca dan mendengar tentang beberapa fungsi dari Al-Qur’an itu sendiri. Namun kali ini, penulis ingin mengajak sahabat untuk merenungi beberapa fungsi Al-Qur’an yang tidak banyak dibahas dalam literatur agama Islam (buku tafsir) dengan merujuk langsung pada ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri.
Beberapa fungsi dari Kitab Al-Qur’an bagi kehidupan manusia, khususnya orang-orang beriman adalah sebagai berikut:
a. Sebagai Kitab Petunjuk
Secara prinsip, Al-Qur’an berfungsi sebagai Kitab Petunjuk bagi ummat manusia (budan lin nas) pada umumnya dan bagi orang-orang yang bertakwa (hudan li muttaqin) pada khususnya, sehingga memahami maksud yang tersurat dan tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan. Tanpa memahaminya, manusia tidak dapat mengikuti dan menjalani petunjuk Al-Qur’an. Penegasan akan fungsi tersebut tertuang dalam surat AlBagarah (2) ayat 185 berikut ini:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).
Ayat di atas dengan tegas menyatakan fungsi AlQur’an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan lin nas) dan sekaligus menjelaskan mengenai petunjuk ayat itu sendiri (bayyinat minal huda). Maksudnya, di samping ayat-ayat Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (budan), ayat-ayat tersebut juga seringkali menjelaskan atau menafsirkan maksud dari ayat-ayat (petunjuk) lainnya. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur’an menafsirkan ayat-ayat lainnya (Tafsir al-ayat bil ayat), Jadi, Al-Qur’an terkadang menafsirkan dirinya sendiri. Selain itu, petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an (hudan) dijelaskan Allah melalui ayat-ayat tentang kisah para Nabi dan Rasul-Nya.
Kisah para Rasul berikut para penentangnya merupakan bayyinat (penjelasan, bukti) dari petunjuk ayat-ayat lainnya. Dengan demikian, saat manusia sudah mampu memahami petunjuk dari ayat-ayat tersebut barulah kemudian Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai “Al-Furqan” (Pembeda) antara yang hak dan yang batil. Untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil silakan cari petunjuknya dalam Al-Qur’an. Artinya, untuk mengetahui apakah sesuatu itu hak atau batil, silakan cari jawabannya dalam Al-Qur’an.
Sebagai Kitab Petunjuk, maka sejatinya Al-Qur’an adalah kitab yang jelas (kitabun mubin) dengan susunan bahasanya yang tersusun indah dan jelas, sehingga AlQur’an sesungguhnya mudah untuk dipahami tanpa perlu membutuhkan penafsiran yang berbelit-belit. Perhatikan surat Maryam (19) ayat 97 berikut ini:
Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.
Perhatikan pula surat Al-Qamar (54) ayat 17:
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
Satu hal yang perlu diingatkan ulang, Al-Qur’an akan dapat menjadi Kitab Petunjuk dalam kehidupan ini, jika seseorang sudah meninggalkan keyakinan dan komunitasnya yang musyrik (najis) dan masuk ke dalam komunitas mu’min, yaitu komunitas orang-orang yang telah berjanji untuk menegakkan aktivitas pengabdian hanya kepada Allah dan menjaga dirinya dari hal-hal yang najis, jauh dari pengaruh bahaya syirik, dan yakin akan hasil akhir dari setiap amal perbuatannya.
b. Sebagai Obat Penawar dan Rahmat
Penegasan Al-Qur’an sebagai obat penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman terdapat dalam surat Al-Isra (17) ayat 82 berikut ini:
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi fisik material dan dimensi mental spiritual. Tentu saja yang dapat disembuhkan oleh Al-Qur’an bukanlah penyakit fisik manusia melainkan penyakit mental Spiritual (ruhani) manusia. Jika dalam keseharian banyak orang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menyembuhkan penyakit fisik manusia, sesungguhnya hal itu salah kaprah dan perbuatan zalim.
Penyakit ruhani yang paling ganas dan dapat menggerogoti kesadaran manusia adalah penyakit syirik (musyrik). Penyakit yang menjadikan manusia sebagai hamba yang najis dan menajiskan. Musyrik adalah dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah. Musyrik bagaikan penyakit kusta yang tidak dapat disembuhkan. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit syirik (najis) tersebut adalah Ruhul Qudus (Ruh Suci) yang berasal dari Yang Maha Suci. Itulah firman Allah (wahyu Al-Qur’an) yang harus dikonsumsi oleh ruhani manusia. Dengan peringatan dan ancaman Al-Qur’an tentang kemusyrikan, maka seseorang akan menjadi sadar (sembuh) dan siap menjadi hamba Allah yang sejati, tidak lagi berlaku syirik kepada-Nya.
Musyrik adalah biang dari segala penyakit dan kejahatan manusia. Ketika seseorang tidak takut akan azab dan murka Allah (musyrik), maka dia akan berani melakukan pelanggaran dan kejahatan apa pun. Sebaliknya, ketika seseorang sudah kembali menyadari jati dirinya sebagai hamba dari-Nya, maka dia tidak akan berani melakukan pelanggaran dan kejahatan apa pun dalam hidupnya. Kapan pun dan di mana pun, dia selalu menghadirkan Allah dalam diri dan kehidupannya. Dia selalu bersama Allah dan Allah senantiasa bersamanya. Artinya, Allah telah bersemayam dalam arasy dirinya, sehingga DIA sangat dekat dengan urat nadinya.
Penyakit musyrik itulah yang disembuhkan oleh Rasulullah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Bukan dengan cara meminumkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an kepada manusia tetapi dengan menyampaikan dan mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada manusia yang musyrik tersebut. Ruhul Qudus jika disemayamkan dalam kesadaran (shudur) manusia, maka dia akan mampu membersihkan penyakit-penyakit yang ada dalam qalbunya. Sehingga dia akan menjadi manusia berkat yang membawa rahmat bagi alam sekitarnya. Jika Al-Qur’an sudah menjadi Kitab Petunjuk, dia akan mampu menyembuhkan moral bejat manusia. Jika ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia, pastilah akan penuh dengan rahmat (kasih sayang) dari Allah. Wajar jika dikatakan, bahwa diutusnya seorang Rasul adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Hanya melalui Rasul-Nya, Allah menyampaikan ayat-ayat-Nya kepada manusia. Melalui Rasul-Nya pula, Dia memberi peringatan dan berita gembira kepada manusia. Dan yang selalu disampaikan oleh para Rasul-Nya dan orang-orang beriman adalah ayat-ayat Allah.
Betul jika Al-Qur’an merupakan rahmat Allah bagi orang-orang beriman. Namun, bagi mereka yang zalim (musyrik), Al-Qur’an tidak akan menjadi obat penawar (syifa) dan rahmat bagi mereka, melainkan hanyalah kerugian. Meskipun mereka membaca dan memahami Al-Qur’an, namun tidak akan menjadi petunjuk dalam hidupnya. Mereka tidak ingin mengamalkan perintah dan petunjuk Al-Qur’an secara menyeluruh dalam kehidupannya. Mereka hanya mengamalkan ayat-ayat yang menurutnya ringan dan menguntungkan bagi diri dan kelompoknya. Mereka pandai memikulkan beban kepada ummat atau orang lain, tetapi mereka sendiri enggan untuk memikul perintah Allah dan Rasul-Nya. Itulah wajah orang-orang musyrik, orang-orang yan zalim terhadap dirinya.
c. sebagai Sumber Hukum dan Undang -Undang
Fungsi Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum dan undang-undang dalam kehidupan orang-orang beriman dapat dilihat dari beberapa ayat berikut ini:
Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) Ayat 2:
Kitab (Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Al-Kitab adalah kumpulan hukum atau ketetapan-ketetapan Allah yang ada di dalam Al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman dan petunjuk bagi orang yang taat hukum (bertaqwa). Konstitusi dan segala peraturan yang dibuat oleh orang-orang beriman harus didasari oleh ketentuan-ketentuan Allah dalam Al-Qur’an, mulai dari masalah agidah, sosial, ekonomi, hukum, politik dan yang lainnya.
Ketika seseorang memiliki keraguan akan kebenaran Al-Kitab, maka gugurlah keimanannya.
Al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 49 — 50:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah Orang-orang yang fasik. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi Orang-orang yang yakin.
Sangatlah tegas bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Undang-Undang Allah yang harus dijadikan tujukan dan landasan di dalam memutuskan perkara di antara ummat muslim. Bukan sebaliknya, menjadikan hukum jahiliyah sebagai hukum positif bagi ummat muslim. Untuk itulah dibutuhkan adanya kekuasaan
(Khilafah) Allah yang akan menegakkan hukum Allah tersebut. Jika ummat manusia atau orang orang beriman tidak menjadikan Al-Kitab sebagai sumber hukum dalam memutuskan perkara mereka, maka mereka itulah orang-orang yang disebut kafir, zalim, dan fasiq.
d. Sebagai Ruh dan Nur Allah
Ruh adalah sesuatu yang menghidupkan, dan nur adalah sesuatu yang menerangi. Al-Qur’an sebagai wahyu adalah Ruh Allah yang dapat menghidupkan qalbu manusia dari kematiannya atau ketidaksadarannya akan nilai-nilai kebenaran sejati. Demikian pula Al-Qur’an sebagai wahyu Allah adalah nur Allah yang dapat menerangi penglihatan dan pemikiran manusia sehingga semuanya menjadi jelas, mana yang hak dan mana yang batil, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan.
Anda mungkin belum menyadari, bahwa pasangan sejati nan fitrah bagi qalbu (akal pikiran) manusia adalah wahyu (Ruhul Qudus), dan esensi manusia bukan terletak pada fisik jasmaninya melainkan pada apa yang berada dalam kesadaran qalbu-nya. Setiap manusia beraktivitas didorong dan diperintah oleh ruh yang ada di dalam kesadaran qalbu-nya. Manusia tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang tidak ada dalam kesadaran akal pikirannya. Ketika seseorang tidak memiliki ruh Allah (Ruh Qudus, wahyu) dalam kesadarannya, maka di mata Allah dia adalah mayat yang berjalan, manusia yang mati secara spiritual. Dia akan hidup manakala ruh Allah masuk dan berdiam menjadi daya gerak dalam qalbu-nya.
Penegasan tentang wahyu Al-Qur’an sebagai Nur Allah dapat direnungkan dari beberapa ayat, di antaranya:
Al-Qur’an surat Al-An’am (6) ayat 122:
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini tidak bicara soal menghidupkan mereka yang mati secara fisik, karena hal itu tidak pernah terjadi alias mustahil. Tetapi yang dihidupkan adalah kesadaran ideologi spiritual Seseorang oleh Allah melalui orang-orang yang menyampaikan ruh Allah (firman) kepadanya. Selanjutnya, ketika mereka sebagai penerang hidupnya. Meskipun dia berada dalam kehidupan yang gelap (zhulummat, musyrik) tetapi dia masih dapat berjalan di tengah masyarakat manusia yang telah mati akal budinya.
Al-Qur’an surat Al-Isra (17) ayat 85 — 86:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. “Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami.
Yang dimaksud dengan kata “ar-ruh” pada ayat di atas bukanlah roh tetapi ruh (Ruhul Qudus, wahyu) Allah. Adapun mereka yang bertanya kepada Nabi Muhammad adalah para Ahli Kitab (Taurat dan Injil) karena di dalamnya juga banyak bercerita tentang ruh Allah (Ruh Qudus). Sehingga jawaban Nabi Muhammad adalah “Ruh itu adalah termasuk amar Rabb-ku dan tidaklah kalian (Ahli Kitab) diberi pengetahuan (akan Ruh Qudus) melainkan hanya sedikit. Para Ahli Kitab di zaman Nabi Muhammad tidak lagi memahami dengan benar maksud dari firman (ruh) Allah yang ada di dalam Taurat dan Injil, Sebaliknya, Nabi Muhammad telah banyak diwahyukan (diajarkan) ruh (wahyu) Allah dibanding mereka yang bertanya tersebut. Kenapa demikian? Karena ruh Allah yang telah diwahyukan ke dalam qalbu manusia dapat dicabut atau dilenyapkan oleh Sang Pemilik ruh (wahyu). Inilah yang dimaksud pada ayat 86 di atas sebagai penjelasan lanjutan dari ayat sebelumnya.
Di samping menjadi ruh bagi Allah pun sekaligus menjadi 1×7 (cahaya) yang memerangi pemikiran dan langkah manusia, seperti sudah digambarkan pada surat Al-An’am (6) ayat 122 di atas. Allah yang menerangi langit dan bumi, maka Dia pula yang dapat menerangi qalbu manusia dengan cahaya (nur)-Nya.
Namun demikian, Al-Qur’an baru dapat berfungsi sebagai Nur Allah, baru akan menyala dan menjadi penerang manakala dinyalakan dengan syajarah thayyibah, yakni pohon-pohon zaitun (yang menjadi sumber minyak zaitun) yang tumbuh bukan di Barat dan bukan di Timur, yakni di Jazirah Arabia (Timur Tengah). Artinya, seseorang baru akan mengerti makna ayat-ayat Al-Qur’an manakala ditafsirkan dengan sunnah para Rasul Allah yang hidup di daerah Timur Tengah yang dikisahkan dalam Alkitab dan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rasulullah Muhammad adalah Rasul yang telah merangkum semua sunnah para Rasul sebelumnya yang kemudian diaplikasikan dalam perjalanan dakwah dan jihadnya, tahap demi tahap, langkah demi langkah, sesuai dengan tuntunan wahyu yang diajarkan kepadanya. Sehingga sunnah Rasul hakikatnya adalah penerapan wahyu Allah itu sendiri yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Muhammad dari iqra” hingga al-yauma akmaltu lakum, yang di dalamnya penuh dengan prinsip-prinsip dakwah dan jihad dalam memperjuangkan tegaknya Din al-Islam dalam satu Khilafah (kekuasaan) Allah sebagai sistem hukum yang berlaku dalam semua sektor kehidupan manusia di muka bumi (rabmatan lil ‘alamin).
Demikianlah nilai dan hasil yang akan diperoleh oleh manusia manakala berhasil menjadikan Al-Qur’an sebagai Ruh dan Nur dalam diri dan kehidupannya.
Gambaran indah lainnya, tentang hal ini dapat dilihat dalam surat Asy-Syura (42) ayat 52-53 berikut ini:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, “(yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua urusan.
Sekali lagi, ruh (bukan roh) adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah, Sang Pemilik ruh. Ruh adalah wahyu Allah yang menghidupkan dan akan menjadi cahaya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadi petunjuk dalam berjalan di atas jalan yang lurus, Jalan Kebenaran Allah, Pemilik langit dan bumi. Dengan kata lain, seseorang tidak akan bisa menjadi manusia beriman yang sesungguhnya manakala dia belum memahami wahyu Al-Qur’an, memahami esensi makna dari ayat-ayat yang tersurat. Begitu pula seseorang tidak akan dapat berjalan pada shirath mustaqim manakala tidak diberi petunjuk cahaya dari Allah.
BERSAMBUNG KE BAGIAN II