Perjalanan risalah yang ditempuh oleh nabi Muhammad dari fase “iqra`” hingga “al-yawma” tersebut,
secara global terbagi dalam tiga tahapan dasar, yakni tahap iman, hijrah dan jihad. Namun, secara lebih rinci perjalanan beliau dari awal kenabian hingga wafatnya beliau dapat dibagi dalam enam fase perjuangan. Berikut penjelasan singkat dari enam fase (tahap) perjuangan Rasulullah Muhammad.
Pertama: Fase Dakwah Secara Selektif (Tertutup).
Seperti para rasul Allah sebelumnya, warta utama yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai hamba dari Sang Pencipta dirinya dan menegakkan system kebenaran Tuhan Semesta Alam dalam wujud dianugerahinya kekuasaan (khilafah) oleh Allah yang akan menegakkan sistem hukum Allah di muka bumi. Kehendak Allah ini tentu saja bertentangan dengan kehendak penguasa Mekah dan kaum musyrik Mekah.
Untuk itulah pada awalnya beliau berdakwah secara selektif, orang per orang yang dimulai dari istri dan keluarganya kemudian para sahabat-sahabat beliau. Beliau melakukan dakwah dari rumah ke rumah, orang per orang, hingga akhirnya terbentuklah suatu komunitas orang-orang beriman, yakni kader-kader pelopor (assabiquna al-awwalun) yang memiliki keimanan yang kuat dalam mengemban misi risalah Allah. Dakwah untuk mengajak dan memberikan peringatan kepada kerabat terdekat dan terbatas ini dinyatakan dalam Al-Quran surat Asy-Syu’araa (26) ayat 214-215 berikut ini:
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Kedua: Fase Dakwah Secara Terbuka (Terang-terangan)
Ketika kader-kader yang iman kepada kenabian dan kerasulan beliau sudah bertambah banyak, turunlah perintah dari Allah untuk berdakwah secara terbuka. Perintah melakukan dakwah secara terbuka atau terangterangan ini dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Hijr (15) ayat 94 berikut ini:
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.
Seperti halnya nabi Musa yang diperintah untuk mendatangi Fir’aun, maka beliau pun mendatangi pembesar-pembesar Mekah untuk mengajak mereka kembali kepada fitrah manusia yang sejati, yakni menjadi hamba dari satu-satunya Tuhan, Allah Yang mencipta manusia. Beliau secara terbuka meminta bangsanya untuk beriman hanya kepada Allah dan meninggalkan segala jenis kemusyrikan dan tradisi nenek moyang bangsa Arab. Misalnya, meninggalkan paham kebangsaan yang pluralistik dan kembali kepada paham Tauhid, yakni pengabdian tunggal hanya kepada satu Tuhan (Tuan).
Konsekuensinya, penguasa Mekah dan kaum musyrik Mekah serta Ahli Kitab merasa terusik dan terancam dengan dakwah nabi dan para sahabatnya, bahkan dinilai berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa Arab yang pluralis demokratis, sehingga Abu Jahal memerintahkan untuk menghentikan dakwah beliau dan memaksa mereka untuk kembali kepada agama dan tradisi nenek moyang bangsa Arab yang pluralistik. Meski pelarangan dan ancaman sudah dilakukan, Rasulullah terus berdakwah. Berkat izin Allah, pada fase ini berimanlah dua orang pemimpin Quraisy yang ditakuti dan disegani, yakni Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khaththab.
Dua orang yang tadinya sangat menentang dakwah Rasulullah telah menjadi pengikut setia dan benteng kaum mu’minin. Berita masuknya Umar bin Khaththab ke dalam barisan orang-orang beriman semakin menimbulkan kejengkelan dan reaksi yang kuat dari pihak kafir Quraisy. Bani Hasyim dan Bani Muththalib –dua keluarga besar nabi Muhammad, menjadi pelindung bagi dakwah nabi. Hingga akhirnya, penguasa kafir Quraisy memutuskan untuk melakukan boikot terhadap Rasulullah Muhammad, termasuk kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Keputusan boikot tersebut ditulis di atas kertas dan digantungkan di dinding Ka’bah.
Ketiga: Fase Hijrah (Eksodus)
Dengan keputusan pemboikotan umum tersebut, maka Nabi Muhammad dan para pengikutnya serta Bani Hasyim dan Bani Muththalib, terpaksa menyingkir dan menyelamatkan diri ke luar kota Mekah. Selain itu, kondisi Mekah sudah tidak kondusif lagi bagi keselamatan iman (aqidah) dan diri para pengikut nabi Muhammad (pengikut misi Millah Abraham). Inilah masa-masa sulit yang dihadapi oleh Rasulullah dan para pengikutnya. Sejarah mencatat, pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun, karena akhirnya pemboikotan dihentikan. Namun nasib para pengikut Nabi semakin memburuk dan orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan sikap permusuhan mereka. Belum lagi kepedihan yang dirasakan nabi Muhammad akibat wafatnya paman beliau Abu Thalib dalam usia 87 tahun dan kemudian disusul oleh istri beliau, Siti Khadijah. Perisitwa ini terjadi pada tahun ke-10 dari masa kenabian.
Sesudah beliau melihat bahwa Mekah tidak lagi kondusif menjadi pusat dakwah, maka beliau berdakwah keluar kota Mekah. Negeri yang dituju adalah Tha’if, daerah kabilah Tsaqif. Beliau menjumpai pemuka-pemuka kabilah itu dan diajaknya mereka kepada din al-Islam. Namun mereka menolak ajakan nabi dengan kasar, nabi diusir, disorak-soraki dan dikejar kejar sambil dilempari dengan batu sampai akhirnya beliau bersembunyi di bawah pohon anggur di kebun Utba dan Syaiba (anak Rabia). Pada waktu musim haji tiba, datanglah ke Mekah kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru tanah Arab.
Di antaranya, terdapat jamaah Khazraj dari Yatsrib. Sebagaimana biasanya, setiap musim haji, Nabi Muhammad berdakwah kepada kabilah-kabilah yang sedang melakukan haji. Kali ini beliau menjumpai orang-orang Khazraj yang sudah memiliki pemahaman akan ajaran Ketuhanan dan kerap mendengar dari orang Yahudi di negeri mereka, tentang akan lahirnya seorang Nabi pada waktu dekat. Pada waktu itu juga mereka langsung beriman kepada nabi dan apa-apa yang disampaikannya. Peristiwa ini menjadi titik terang bagi perjalanan risalah Millah Abraham (din al-haqq). Lebih dari enam orang kaum Khazraj yang telah beriman ini kemudian pulang dan berdakwah di Yatsrib.
Setahun kemudian, di tahun ke-12 kenabian, datanglah ke Mekah di musim haji 12 orang laki-laki dan seorang wanita penduduk Yatsrib dan bertemu secara diam-diam dengan Nabi di ‘Aqabah. Di tempat inilah mereka melakukan bai’at ‘Aqabah Ula (perjanjian ‘Aqabah yang pertama) atas dasar din al-Islam, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzinah, tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan fitnah memfitnah, dan tidak akan mendurhakai Nabi. Sesudah itu, Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Yatsrib untuk mengajarkan wahyu Al-Quran dan din al-Islam. Maka, ajaran Millah Abraham tersebar ke setiap rumah dan penduduk Yatsrib, kecuali beberapa keluarga kecil orang Aus.
Pada tahun ke-13 kenabian, rombongan kaum Muslimin Yatsrib berangkat ke Mekah menunaikan haji. Setelah melakukan ritual haji, mereka secara diam-diam berangkat menuju ‘Aqabah menemui Rasulullah Muhammad. Jumlah mereka 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Rasulullah pun datang ditemani oleh Abbas, paman beliau, yang pada pertemuan itu menjadi mediator. Setelah melakukan pembicaraan dan Rasulullah membacakan beberapa ayat Allah, kemudian beliau berbicara; “Saya ingin mengambil perjanjian dari kalian semua, bahwa kalian akan menjaga saya sebagaimana kalian menjaga keluarga dan anak-anak kalian sendiri”.
Kemudian berdirilah 12 orang pemuka Khazraj dan Aus yang masing-masing mewakili golongan yang ada dalam kabilahnya untuk melakukan perjanjian dengan Nabi. Mereka berjanji akan membela Nabi Muhammad walaupun harta dan jiwa mereka habis tandas karenanya. Seorang demi seorang menjabat tangan Rasul, tanda bai’at yang berarti pernyataan dan sumpah setia. Peristiwa ini di dalam sejarah dinamakan Bai’atul ‘Aqabah Ats-Tsaniyah (Perjanjian ‘Aqabah Kedua).
Tatkala Nabi melihat tanda-tanda baik perkembangan dakwah di Yatsrib, disuruhnyalah para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan orang-orang Yatsrib sebagai saudara-saudara bagimu dan negeri itu sebagai tempat yang aman bagimu”. Dengan berpindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Yatsrib, maka berakhirlah periode pertama sejarah risalahnya. Tidak kurang 13 tahun lamanya beliau berjuang antara hidup dan mati menegakkan risalah din Allah di tengah masyarakat Mekah. Peristiwa sejarah tersebut dituangkan dalam firman Allah surat Al-Anfāl (8) ayat 30 berikut ini:
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.
Orang-orang kafir Quraisy sangat terkejut dan marah mengetahui perkembangan ummat Islam di Yatsrib. Mereka sangat kuatir jika Nabi Muhammad berkuasa di Yatsrib, maka kafilah-kafilah dagang mereka yang pulang pergi ke Syam akan dicegat oleh pengikut Nabi Muhammad, yang berakibat buruk pada ekonomi Mekah. Untuk itulah mereka memutuskan untuk mengawasi, mengikuti, dan membunuh Nabi Muhammad.
Perlu digaris bawahi, bahwa hijrah (eksodus) adalah jalan damai yang harus dilakukan demi mempertahankan kelangsungan hidup misi dakwah, kelangsungan hidup iman masing-masing pribadi mu’min, dan kelangsungan hidup ummat Islam. Hijrah adalah fase penentu dalam perjalanan risalah setiap Rasul Allah. Hidup matinya perjuangan Rasulullah ditentukan oleh hijrah. Ketika orang-orang beriman tidak berani untuk melakukan eksodus, maka iman mereka dan komunitas mereka akan mati dan dimatikan oleh musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Bagaikan seorang manusia, maka fase makkiyah (fase kegelapan: zhulummat) adalah masa dimana manusia masih berada dalam kandungan sang Ibu. Perjalanan hidup sang janin (manusia) ditentukan pada masa kelahirannya, yakni keluarnya janin (bayi) dari kandungan ibunya.
Inilah hari kelahiran sang bayi. Begitu halnya dengan perjalanan hidup suatu komunitas ummat perjanjian (orang-orang beriman), hidup matinya sebuah perjalanan perjuangan ummat Millah Abraham ditentukan oleh fase kelahirannya, yakni keluarnya orang-orang beriman (Rasulullah beserta para pengikutnya) dari wilayah kekuasaan bangsanya yang musyrik, atau disebut dengan fase hijrah. Jadi, hijrah merupakan hari kelahiran ummat Islam (ummat Millah Abraham) di bawah bimbingan Rasul Allah. Itulah sebabnya, hijrah dijadikan sebagai tonggak perhitungan kalender Islam oleh khalifah Umar bin Khaththab. Tradisi penolakan dan permusuhan oleh penguasa bangsa-bangsa musyrik terhadap misi Allah di muka bumi adalah sesuatu yang selalu berulang pada setiap zaman kerasulan. Hal ini terjadi pada setiap Rasul Allah di zamannya masing-masing. Perhatikan firman Allah dalam surat Ibrāhīm (14) ayat 13 – 14 berikut ini:
َOrang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Rabb mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu. dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku”. Orang-orang kafir adalah mereka yang menolak misi risalah Allah, Millah Abraham yang dibawa dan didakwahkan oleh para Rasul-Nya, karena merasa millah dan tradisi keagamaan nenek moyang mereka lebih baik dan lebih benar untuk membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka di dunia dan di akhirat. Jika orang-orang beriman tidak mau melaksanakan eksodus (hijrah) dan kembali kepada agama (millah) bangsanya yang musyrik, maka mereka akan ditempatkan Allah ke dalam neraka jahannam.
Perhatikan peringatan Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa (4) ayat 97:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Orang-orang yang tidak ingin hijrah, nilainya sama dengan orang yang menganiaya dirinya, karena bumi Allah sebagai sarana mengabdi kepadaNya terbentang luas untuk dihuni dan dimakmurkan, sehingga memudahkan mereka lepas dari cengkraman penguasa zalim. Sudah menjadi sunnah bagi setiap Rasul, jika mereka tertindas oleh penguasa zalim di negeri mereka, maka hijrah merupakan pintu penyelamat agar mereka dapat tetap “hidup” dan keluar dari kondisi kutuk (neraka jahannam) untuk membangun suatu kehidupan yang baru, yaitu kondisi berkat (jannah) yang akan menjadi baldah thayyibah (Darussalam; Yerusalem) bagi mereka.
Hijrah adalah gerbang bagi kelahiran dan kebangkitan sebuah ummat (komunitas bangsa) yang baru dan terbebas dari tirani penguasa zalim. Sekali lagi, tujuan perjuangan dari setiap Rasul Alllah adalah membebaskan kaumnya dari belenggu penindasan dan penjajahan penguasa zalim pada zamannya. Begitu pentingnya hijrah dalam tonggak perjuangan Muhammad saw. sehingga Allah mengecam keras mereka yang tidak mau ikut hijrah Bersama beliau. Perhatikan surat al-Anfâl (8) ayat 72 berikut ini:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) din (agama), maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Tulisan Selanjutnya Akan Kita Bahas 3 Fase Lagi..