Teodisi: Sebuah nama merupakan doa yang disematkan kepada sesuatu atau seseorang yang baru dilahirkan dengan harapan agar sesuatau atau seseorang tersebut memiliki sifat dan karakter yang tercermin dari nama yang disandangnya. Sebagai sebuah negara bangsa, wilayah yang terbentang antara Merauke hingga Sabang ini memiliki nama yang disematkan pada hari lahirnya, yakni Indonesia.
Tentu saja penyematan nama itu tidak serta-merta ada ketika Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Penyebutan Indonesia sudah sejak lama ada, hanya saja perihal nama tersebut memiliki doa, harapan, sifat dan karakter tertentu, harus dilihat lebih mendalam. Demikianlah, sudah seharusnya nama menggambarkan watak setiap cita-cita dan tujuan perjuangan.
Sebutan Hindia asal mulanya buatan Herodotus, seorang ahli ilmu sejarah Yunani (485-525 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Sejarah”. Jauh sebelum masa kemerdekaan, kawasan Nusantara sudah dikenal oleh masyarakat dunia, diantaranya Ptolomaeus dalam buku geografi klasiknya Geographike Hyphegesis sekitar tahun 150 M pernah menyebut nama Iabadiu (Javadwipa) dalam sebutan bahasa Sansekerta atau Javadiu (Pulau Jawa) dan Argyre (Negeri Perak; Salakanegara) dalam bahasa Prakerta.
Bangsa Cina menyebut Nusantara sebagai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan), bangsa Arab menyebut kawasan Nusantara sebagai Jaza’ir Al-jawi (Kepulauan Jawa), sedangkan bangsa India menyebut kawasan Nusantara sebagai Dwipantara. Nama Hindia-untuk wilayah Nusantara-menjadi terkenal setelah bangsa Portugis di bawah pimpinan Vasco de Gama mendapati kepulauan ini dengan menyusuri sungai Indus.
Bangsa Barat (Eropa Barat dan Utara) yang pertama kali datang ke Nusantara umumnya menyebut daerah yang terbentang luas di kawasan Samudra Hindia (Lautan Indonesia) antara Persia dan Cina semuanya disebut Hindia(Indie, Indian). Kawasan Nusantara dalam bahasa Belanda, Inggris dan Perancis disebut sebagai “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel; Indian Archipelago; l’Archipel Indien) atau lebih spesifik disebut sebagai “Hindia Timur” (Oost Indie; East Indies; Indes Orientales). Sama dengan penyebutan oleh bangsa Jepang pada saat menduduki Indonesia (1942-1945), yakni To-Indo (Hindia Timur). Demikianlah penyebutan wilayah Nusantara dari abad ke-XVI sampai dengan adabd ke-XX.
Kata Indonesia pertama kali digunakan pada 1850 oleh George Samuel Windsor Earl dalam tulisannya “Journal of the Indians Archipelago and Eastern asia” yang dikoreksi dan disempurnakan oleh James Logan yang pada akhirnya merekalah yang tercatat dalam sejarah sebagai penemu dan pencetus nama Indonesia. Istilah Indonesia mulai populer dikalangan akademisi Eropa berkat reputasi Adolf Bastian, ahli etnografi asal Berlin dalam karya klasiknya “Indonesien oder die Inseln des Malayschen Archipel” (1884-1894).
Penyebutan nama Indonesia justru muncul lebih awal dan populer di luar wilayah daratan Sunda Besar dan Sunda Kecil itu sendiri. Ada beberapa alternatif penyebutan untuk wilayah Nederlandsch-Indie atau Hindia-Belanda yang diusulkan pada masa itu. Pada abad XIX, Eduard Douwes Dekker (1820-1887), dengan nama Multatuli, pernah mengusulkan nama Insulinde. Keturunan Douwes Dekker yang lain yang bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1979-1950) alias Dr. Setiabudi, berupaya mempopulerkan kembali istilah Nusantara yang lebih dahulu ada sejak zaman kerajan kuno Pajajaran Nagara.
Di samping itu, nama Indonesisch pernah digunakan oleh beberapa tokoh nasionalis prakemerdekaan seperti Ki Hajar Dewantara ketika masih menggunakan nama Soewardi Soerjaningrat yang mendirikan Indonesisch Pers-Bureau (1913) di Belanda dan atas inisiatif Moh. Hatta, mahasiswa bumiputra di Belanda mendirikan Indonesisch Vereeniging yang sebelumnya bernama Indische Vereeniging (1922). Barulah pada 28 Oktober 1928 nama Indonesia mulai resmi digunakan melalui peristiwa bersejarah “Soempah Pemoeda” yang digelar di Loji Freemansory.
Penggunaan nama Indonesia dalam konteks pergerakan nasional ini tentu sangatlah berbeda dari kepentingan keilmuan sebelumnya. Jika kaum ilmuwan menggunakan nama Indonesia untuk menandai kawasan termaksud dengan ciri-cirinya yang terpenting, kaum pergerakan justru membayangkan sebuah entitas baru, negeri yang secara geografis adalah bagian bumi yang tengah mereka diami, tetapi mempunyai status politik yang tidak didapatkannya pada saat itu, yakni kemerdekaan. Sebuah imaji fundamen dan radikal yang membuat tiap-tiap bumiputra rela berkorban mempertaruhkan harta dan dirinya untuk sampai ke sana.
Entitas Indonesia sebagai pergerakan kebangkitan nasional lupa bahwa sebenarnya nama tersebut bukanlah berasal dan tidak mencerminkan keinginan dan cita-cita luhur bangsa itu sendiri. Nama Indonesia, hanya disematkan oleh orang-orang yang memiliki tujuan materiel tertentu, dalam hal ini adalah kaum imperialis dengan maksud untuk menandai lahan jajahan mereka. Jelasnya, nama Indonesia bukanlah doa dan harapan yang mengandung sifat dan karakter tertentu. Apa lagi sifat dan karakter Tuan Semesta alam.
Aly