Universalitas Abraham, Penyembelihan Ismail, dan Hak Kesulungan Ishaq
Teodisi.com : Sosok Nabi Ibrahim (Abraham) banyak disebut di dalam kitab-Kitab Allah. Siapa Abraham? Beliau adalah bapak para Nabi yang mempunyai banyak keturunan, terutama dari garis Ismail dan Ishaq.
Ishaq dari Sarah dan Ismail dari Hajar. Selisih umur Ismail dan Ishak 14 tahun. Ketika Abraham sudah mulai tua, Abraham mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih (mengorbankan) Ismail.
Banyak yang beranggapan bahwa Ismail akan disembelih oleh Abraham. Menjadi pertanyaan, apakah Abraham menyembelih Ismail secara fisik-biologis?
Dan apakah hanya Ismail? Lalu bagaimana dengan Ishaq?
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.””(As-Saffat: 102)
Menyoal Penyembelihan Ismail
Kata menyembelih bukan berarti seperti hewan ternak yang disembelih. Tetapi yang dimaksud menyembelih pada konteks ayat di atas adalah mengorbankan anaknya dalam rangka menyampaikan misi risalah.
Tidak mungkin seorang bapak tega menyembelih anaknya sendiri. Di sisi lain, sangat bertentangan dengan ajaran Allah yang melarang manusia untuk membunuh.
Penyembelihan Ismail itu merupakan sebuah perintah dari Allah, dikarenakan usianya sudah sanggup untuk dikorbankan, Dalam menjalankan misi sebagai seorang nabi ( pembawa berita ) bagi bangsa Arab.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al- Baqarah: 127)
Janji Allah Kepada Abraham
Lebih jauh, Abraham dan keturunannya melalui jalur Ishaq akan mewarisi tanah Palestina.
Dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau: Engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Aku akan membuat engkau beranak cucu sangat banyak; engkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan dari padamu akan berasal raja-raja. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu. Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan negeri ini yang kaudiami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadi Allah mereka.” (Kejadian Pasal 17: 4-8)
Keseluruhan sejarah Bani Israel kemudian berporos pada perjanjian ini, relasi antara Allah dan manusia diubah selamanya, dan hubungan yang spesial pun ditetapkan antara Dia dan keturunan Ishaq.
Intisari perjanjian Allah dengan Abraham adalah bahwa Abraham dan keturunannya harus menjaga perjanjian tersebut dan harus melakukan khitan. Allah berjanji bahwa Dia akan menjadi Allah bagi Abraham dan keturunannya melalui Ishaq dan Ismail. Keturunannya akan berkembang menjadi banyak bangsa.
Dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, perjanjian (kovenan) antara Allah dan Abraham diimani sebagai salah satu warisan eksklusif bagi mereka. Dari seluruh anak-cucu Abraham, hanya Ishaq dan keturunannyalah yang akan mewarisi perjanjian dengan Allah.
Eksklusifitas pewarisan ini semakin mengerucut ketika dinyatakan bahwa pewarisan atas perjanjian tersebut tidak diberikan kepada anak sulung Ishaq, Esau, demi mendukung putra mudanya, Yaqub.
Saat nama Yaqub diubah oleh Allah menjadi Israel, yang mendudukkannya sebagai bapak-moyang garis keturunan biologis dua belas suku Israel. Maka eksklusifitas pewarisan tersebut diklaim hanya milik Bani Israel.
Eksklusifitas-Inklusifitas Ishaq dan Ismail
Dalam kajian Taurat dan Al-qur’an, apa yang menjadi tradisi dan klaim keagamaan tersebut dapatlah dimaklumi. Namun demikian, beberapa hal yang harus dicatat bahwa: Pertama, pengurapan Abraham kepada Ishaq yang menjadikannya pewaris perjanjian tidak bisa menafikan eksistensi Ismail sebagai putra sulung Abraham, yang juga dinubuatkan Allah akan menjadi bangsa yang besar melalui keturunannya.
Berarti, eksklusifitas perjanjian Allah tersebut tidak hanya diwariskan Abraham kepada Ishaq, tetapi juga kepada Ismail meski awal kekuasaan diberikan kepada Bani Israel.
Bukankah Ismail adalah putra sulung Abraham (lebih tua 14 tahun dari Ishaq), sehingga kewajiban mendidik sesuai tuntunan Allah sudah pasti dilakukan juga oleh Abraham kepada Ismail.
Meski demikian, sudah menjadi keputusan (qadha) Allah bahwa keturunan Ishaqlah yang akan menggenapi “Tanah Perjanjian”. Bumi Palestina sebagai kerajaan Allah; Yerusalem (negeri damai sejahtera).
Kedua, keberhasilan generasi Israel memasuki negeri Palestina, tidak bisa dipisahkan dari pertolongan generasi Ismail kepada Musa cs. Artinya, kerjasama diantara kedua keturunan Abraham sesungguhnya terus terjalin, baik bantuan dari pihak Bani Ismail kepada Bani Israel maupun sebaliknya.
Sebut saja bagaimana Syuaib yang menolong Musa tatkala ia lari menyelamatkan diri ke Selatan (Midian; Madyan) dari kejaran tentara Fir’aun.
Ketiga, Al-qur’an menegaskan soal perjanjian tersebut, bahwa perjanjian itu berlaku abadi dan eksklusif. Namun eksklusifitasnya bukan atas dasar kebangsaan atau garis keturunan biologis, melainkan berdasarkan kepada garis keturunan spiritual (keturunan ruh; misi keimanan) Abraham.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadkanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah ayat 124)
Universalitas Ajaran Abraham
Allah menegaskan kembali bahwa Dia berjanji untuk menjadikan Abraham dan keturunannya sebagai imam (pemimpin/khalifah) bagi seluruh bangsa di dunia. Akan tetapi janji tersebut tidak berlaku manakala generasinya (meskipun dari garis keturunan biologisnya) berlaku zalim.
Sebaliknya, meskipun bukan keturunan biologis Abraham (di luar Bani Kedar dan Bani Israel) namun tidak berlaku zalim, maka pucuk kepemimpinan dunia akan diberikan kepadanya.
Berarti, perjanjian Allah ini mengandung aspek eksklusifitas dan inklusifitas (universalitas) sekaligus. Tergantung pada zalim tidaknya suatu generasi bangsa.
Penegasan surat (Al-Baqarah ayat 124) bahwa
Abraham adalah Nabi dan pemimpin yang diperuntukkan untuk seluruh manusia tanpa melihat asal garis keturunan biologisnya. Ini pun berarti bahwa Abraham membawa millah dan misi yang bersifat universal, rahmatan lil alamin.
Jika Abraham dijanjikan sebagai pemimpin bagi semua manusia, ini berarti kepada generasinya pun berlaku hal yang sama. Karenanya, doktrin agama bahwa setiap Nabi diutus hanya untuk bangsanya sendiri (Nabi lokal) adalah sebuah penyimpangan.
Demikian pula dengan universalitas Kitab Suci yang dibawanya, berlaku kepada semua manusia, semua suku bangsa, dan tidak hanya dikhususkan kepada Bani Israel atau Bani Ismail semata.
Penulis: Yosef & Harun
Editor: Bayu