Perhatikan QS As-Shaff (61) ayat 2-3

                                                                                                        (3)يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ(2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

(2)Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? 

(3)sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff ayat 2-3).

 Keluaran 20:16  

“Jangan mengucapkan saksi dusta sesamamu.”

 “Jangan Mengucapkan Saksi Dusta” adalah salah satu dari sepuluh perintah Allah. Kata perintah tersebut tidak hanya disematkan pada hubungan manusia ke manusia lainnya. 

Perintah tersebut mudah dipahami, karena dusta dalam KBBI adalah perilaku yang tidak sesuai dengan bukti kebenaran, tidak sesuai dengan kenyataan, bohong, palsu, dan bukan asli. Kata dusta lebih cenderung digunakan pada saat berbohong ketika dilakukan, sekaligus adanya pengingkaran terhadap sesuatu yang diyakini benar oleh umumnya sesama manusia.

Ketika kita menyematkan kata “saksi Allah”, hal tersebut seringkali tidak dibahas dalam diskusi atau ceramah para juru dakwah. Padahal, seharusnya melekat pada diri setiap manusia yang beriman, yakni manusia yang telah melakukan persaksian (Musyahadah) akan ketauhidan Allah dan kerasulan Utusan-Nya.

Pertanyaannya adalah “Apakah saya dan anda (kita) telah menjadi saksi-saksi Allah yang sejati?, bukan saksi duta ataupun saksi palsu? Seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya. Lazimnya seseorang yang menjadi saksi, maka dia adalah seseorang yang benar-benar bersaksi, yaitu menyaksikan apa yang dia persaksikan.

Dengan demikian, pasti memahami dan melihat (mengalami sendiri secara spritual dan faktual) apa yang dipersaksikannya, yakni “Lā ilāha illa Allah; Tidak ada ilah yang berhak untuk ditaati kehendak dan perintah-Nya selain Allah”. Jika belum memahami atau bahkan tidak memahami dan melaksanakannya berarti menjadi seseorang yang bersaksi palsu, yaitu telah bersaksi akan hal yang tidak dialaminya. Sehingga nilai dari kesaksiannya adalah batil (tidak sah). Ketika kita telah menyaksikan kebenaran, maka jangan pernah ada keraguan untuk mengatakan kebenaran meskipun orang lain membenci


Konten: Reuven 

Penulis: Pams 

Editor Tulisan: Reine Alexandria

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *