Nabi Sulaiman adalah salah satu tokoh legendaris dalam sejarah kepemimpinan, dikenal sebagai seorang raja yang memerintah dengan kebijaksanaan luar biasa. Dikenal sebagai putra dari raja Dawud (David), Sulaiman meneruskan kepemimpinan ayahnya dan mengelola kerajaan yang luas. Kisah Nabi Sulaiman juga dipenuhi dengan cerita-cerita luar biasa yang sering kali dikaitkan dengan mukjizat atau kemampuan istimewa yang dimilikinya. Mukjizat tersebut bukan hanya tanda kekuatan pribadi yang bersifat magis, tetapi esensi serta sebagai simbol dari kebesaran kerajaan dan kecerdasan Sulaiman dalam memimpin.
Salah satu mukjizat terbesar Nabi Sulaiman yang dikenal sebagian besar khalayak umum hari ini adalah kemampuannya untuk berkomunikasi dengan hewan. Allah memberinya kemampuan untuk berbicara dan memerintah hewan, termasuk burung, semut, dan berbagai makhluk lainnya. Hal tersebut tercermin dalam QS. An-Naml (27:38-39) dan (QS. An-Naml
ayat 18) yang menyebutkan bagaimana Nabi Sulaiman memerintahkan hewan-hewan dan makhluk lainnya dalam tugasnya.
“Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
(QS. An-Naml 27: Ayat 18)
“Dan dia (Sulaiman) berkata: ’Wahai para pembesar, mana yang dapat membawa kepadaku singgasana Ratu Balqis sebelum mereka datang menyerah kepadaku?’ Seorang jin yang kuat berkata, ‘Saya akan membawa singgasananya kepadamu sebelum kamu bangkit dari tempat dudukmu, dan sesungguhnya saya benar-benar kuat lagi dapat dipercaya.”
(QS. An-Naml 27:38-39).
Dalam ayat ini, diceritakan bagaimana Sulaiman memimpin pasukan yang terdiri dari berbagai makhluk, termasuk hewan. Hewan di sini lebih dimaknai bukan hanya sebagai makhluk fisik, tetapi juga sebagai simbol dari makhluk yang tidak berakal dan tidak mampu memahami wahyu Allah. Hewan, dalam bahasa Arab, diungkapkan dengan kata “dawaab” atau “an’am”, yang merujuk pada makhluk yang mengikuti insting dan nalurinya, dan tidak diberi kemampuan untuk memahami wahyu secara langsung seperti manusia. Dengan demikian, hewan yang digambarkan sebagai makhluk yang tidak berakal, berfungsi sebagai simbol dari mereka yang tidak menggunakan akal untuk memahami wahyu Allah. Dalam Surah Al-A’raf (7:179), Allah menggambarkan orang yang tidak menggunakan akalnya untuk mengikuti petunjuk-Nya dengan istilah yang serupa dengan hewan:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai Qolbu, tetapi tidak memahaminya; mereka mempunyai mata, tetapi tidak melihatnya; mereka mempunyai telinga, tetapi tidak mendengarnya. Mereka itu seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf 7:179).
Nabi Sulaiman juga diberi kekuasaan untuk mengendalikan jin. Dalam QS. Saba (34:12), Allah menyatakan bahwa Nabi Sulaiman memanfaatkan kekuasaan atas jin untuk membantu pekerjaan besar:
“Dan Kami tundukkan kepadanya (Sulaiman) angin yang tetap menurut perintahnya, kemana saja ia menginginkan, ke tempat yang penuh keberkahan atau ke tempat yang penuh kesulitan, dan Kami tundukkan juga kepadanya jin, sebagian mereka bekerja di hadapannya dengan izin-Nya.”
Pertama, ayat ini mengindikasikan bahwa jin bukanlah makhluk yang tidak nyata atau hanya wujud dalam hal gaib, sebaliknya, mereka adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan fungsi yang dapat ditundukkan atau diarahkan untuk melakukan tugas tertentu. Kedua, bahwa jin bisa melakukan berbagai tugas yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Ketiga, tunduknya jin kepada Sulaiman, yang terjadi atas izin Allah, adalah bukti bahwa mereka memiliki eksistensi dan kemampuan untuk melakukan sesuatu dalam dunia fisik ini, yang berarti bahwa jin bukan hanya imajinasi atau hal yang tidak ada, melainkan makhluk yang nyata dengan kemampuan yang diberikan Allah. Ketika Allah menyebutkan bahwa jin bekerja “di hadapannya” (di hadapan Sulaiman), hal tersebut juga mengindikasikan bahwa mereka memiliki eksistensi yang dapat berinteraksi dengan dunia manusia. Interaksi tersebut menunjukkan bahwa jin bukanlah entitas yang bersifat abstrak atau tidak bisa dipahami oleh manusia, tetapi makhluk yang memiliki kehadiran yang dapat dipahami pemikirannya dalam batas-batas tertentu karena sangat jenius. Logikanya, jika jin tidak ada eksistensinya, maka tidak mungkin mereka dapat tunduk atau bekerja untuk Nabi Sulaiman
Jin secara bahasa berasal dari bahasa Arab “جنِ ّ ” janna yang berarti tersembunyi, terhalang, atau terbungkus. “Jin” lebih sering dikaitkan dengan hal-hal gaib. Cerdasi, makna tersembunyi lebih mengarah kepada sesuatu yang tidak dapat ditangkap, dipahami, mereka tidak dilihat sebagai makhluk magis atau tak terkendali, melainkan sebagai makhluk yang sangat jenius dalam cara berpikir dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah yang tidak semua orang dapat memahami pemikirannya. Secara esensial, jin adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan kemampuan kognitif yang luar biasa, dan bukan hanya sekedar makhluk yang dikaitkan dengan kekuatan tak kasat mata
Al-Qur’an menggambarkan jin sebagai makhluk yang memiliki sifat dan kecerdasan sendiri. Dalam QS. Adz-Zariyat (51:56), Allah berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan penciptaan jin, seperti halnya manusia, adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa jin, meskipun memiliki kecerdasan dan kemampuan yang lebih unggul dalam beberapa hal dibandingkan manusia pada umumnya, tetapi memiliki tujuan dan tanggung jawab yang sama: untuk tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta Alam Semesta
Jin memiliki kecerdasan yang sangat tajam dan berbeda dari manusia dalam hal cara berpikir dan cara mereka memahami dunia. Kecerdasan mereka tersebut membuat mereka tampak luar biasa, namun pada hakikatnya mereka adalah makhluk yang berfungsi dalam tatanan kehidupan yang ditetapkan oleh Allah. Mereka bukan makhluk yang tak terlihat atau magis, melainkan makhluk yang memiliki dimensi pemikiran diatas rata-rata dan berbeda dari manusia pada umumnya serta diberikan tugas dan kemampuan untuk beribadah kepada Allah.
Dalam Al-Qur’an, Surat An-Naml (27:38-40), terdapat kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis yang melibatkan jin Ifrit serta seseorang yang memiliki ilmu dari kitab. Ayat-ayat ini berbunyi:
27:38
“Dia (Sulaiman) berkata, ‘Hai para pembesar, siapa di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya (Balqis) kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?’”
27:39
“Berkata Ifrit dari golongan jin, ‘Aku akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat dipercaya.’”
27:40
“Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari kitab, ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia berkata, ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).’”
Ayat-ayat ini sering dipahami secara harfiah sebagai pemindahan fisik singgasana Ratu Balqis dari kerajaannya ke hadapan Nabi Sulaiman dalam waktu singkat. Namun, kita dapat memahami bahwa “singgasana” identik dengan sesuatu tempat seseorang berkuasa dan memegang kendali atas apa yang dikuasainya, berarti yang dimaksud bukan semata benda fisik, melainkan melambangkan kedudukan, kekuasaan, atau otoritas Ratu Balqis.
Dalam bahasa Arab, kata “ شرع “ arasy atau singgasana tidak hanya merujuk pada kursi fisik yang digunakan raja atau ratu, tetapi identik dengan kedudukan, otoritas, atau kekuasaan. Dalam ayat tersebut, “membawa singgasana” adalah mengambil alih otoritas atau menghadirkan simbol kekuasaan Ratu Balqis di hadapan Nabi Sulaiman untuk menunjukkan
tunduknya Balqis kepada kekuasaan Allah (Sistem Allah yang Haq).
Secara bahasa, kata Ifrit dalam bahasa Arab berasal dari akar kata afara yang memiliki makna dasar kecerdikan, kelicikan, atau kekuatan luar biasa. Dalam konteks penggunaan, Ifrit mengacu pada sosok yang memiliki kemampuan tinggi, baik dalam hal kekuatan fisik maupun kecerdasan, tetapi sering juga dikaitkan dengan sifat yang sulit dikendalikan atau berbahaya. Dalam literatur klasik Arab, kata Ifrit sering digunakan untuk merujuk pada makhluk yang kuat, cerdas, dan sulit ditaklukkan. Kata ini tidak selalu memiliki konotasi negatif, tetapi bisa menggambarkan seseorang yang luar biasa dalam kemampuan tertentu
Dengan demikian kata Ifrit dalam bahasa Arab merujuk pada sosok yang memiliki kecerdasan tinggi, kekuatan, dan kepandaian dalam bekerja. Jin Ifrit di sini tidak perlu dipahami sebagai makhluk gaib atau berapi-api, tetapi dapat dimaknai sebagai seseorang dari golongan jin (makhluk cerdas yang pemikirannya jauh diatas rata-rata dan sangat cerdas dan memiliki kemampuan luar biasa)
Dalam hal ini, Ifrit menawarkan untuk mengambil alih kedudukan Ratu Balqis atau memindahkan kekuasaannya secara cepat (dalam waktu sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduknya/kekuasaannya). Pernyataan Ifrit menggambarkan bahwa dia memiliki keahlian dan sumber daya yang signifikan, tetapi dia tetap terbatas dibandingkan dengan seseorang yang memiliki “ilmu dari kitab.” Tokoh ini disebut sebagai seseorang yang memiliki “ilmu dari kitab” , yang berarti dia memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu Allah atau hukum-hukum yang dapat mengatasi kemampuan fisik maupun teknis yang ditawarkan oleh jin Ifrit. Tokoh tersebut menawarkan untuk memindahkan singgasana lebih cepat (sebelum mata berkedip) yang mengindikasikan kemampuannya jauh melampaui Ifrit, bukan berarti memindahkan kekuasaan dalam sekejap yang bersifat magis atau tidak masuk akal. Namun, jika dilihat secara simbolis, “pemindahan singgasana” dapat berarti transformasi kekuasaan atau perubahan status politik dan spiritual Balqis menuju pengakuannya terhadap
keesaan Allah. Hal tersebut diperkuat oleh respons Nabi Sulaiman, yang menyebut kejadian itu sebagai karunia Allah untuk mengujinya, apakah dia bersyukur atau tidak.
QS. An-Naml (27:40) menunjukkan bahwa kecerdasan saja tidak cukup jika tidak disertai pemahaman terhadap ketetapan Allah. Ifrit, yang dikenal kuat dan cerdik, menawarkan kekuatannya untuk memindahkan singgasana Balqis. Namun, ia kalah oleh seseorang yang memiliki ilmu dari kitab, yakni pemahaman mendalam tentang hukum dan sistem Allah. Dapat dipahami dan ditegaskan bahwa kecerdasan manusia atau kemampuan luar biasa seperti yang dimiliki Ifrit tetap terbatas tanpa pemahaman terhadap ketetapan dan kehendak Allah. Orang dengan ilmu dari kitab yang memahami sunnatullah dapat memahami bagaimana cara kerja sistem Allah, kekuasaan-Nya, serta ketetapannya sehingga mampu bertindak lebih benar dan efisien dibandingkan kekuatan belaka. Kecerdasan tanpa panduan Sang Pencipta Alam Semesta hanya menghasilkan kekuatan yang kosong.
Kisah dalam Surat An-Naml (27:38-40) bukan berbicara tentang keajaiban, tetapi mengandung pelajaran mendalam tentang pentingnya kebijaksanaan, otoritas, dan kekuasaan yang tunduk kepada kehendak Allah. Selanjutnya, singgasana bukan hanya simbol kekuasaan duniawi, tetapi menunjukkan betapa segala kekuasaan baik yang bersifat fisik maupun metafisik berada di bawah kekuasaan Allah
Nabi Sulaiman dipilih Allah untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu, ibaratnya baik yang tampak maupun yang tersembunyi, harus tunduk pada kehendak-Nya. Keberadaan hewan dan jin dalam kisah ini menjadi simbol bagi umat manusia untuk selalu mengikuti wahyu dan menggunakan akal untuk dapat memahami kebenaran yang diajarkan oleh-Nya maupun melalui saksi-saksi-Nya
Penulis: Reine KA