Dalam Al-Qur’an, Surat An-Naml (27:38-40), terdapat kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqisy ang melibatkan jin Ifrit serta seseorang yang memiliki ilmu dari kitab. Ayat-ayat ini berbunyi:

27:38Dia (Sulaiman) berkata, ‘Hai para pembesar, siapa di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya (Balqis) kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?’”

27:39 “Berkata Ifrit dari golongan jin, ‘Aku akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat dipercaya.’”

27:40 “Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari kitab, ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia berkata, ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).’”

Ayat-ayat ini sering dipahami secara harfiah sebagai pemindahan fisik singgasana Ratu Balqis dari kerajaannya ke hadapan Nabi Sulaiman dalam waktu singkat. Namun, kita dapat memahami bahwa “singgasana” identik dengan sesuatu tempat seseorang berkuasa dan memegang kendali atas apa yang dikuasainya, berarti yang dimaksud bukan semata benda fisik, melainkan melambangkan kedudukan, kekuasaan, atau otoritas Ratu Balqis.

Dalam bahasa Arab, kata “ شرع ” arasy atau singgasana tidak hanya merujuk pada kursi fisik yang digunakan raja atau ratu, tetapi identik dengan kedudukan, otoritas, atau kekuasaan. Dalam ayat tersebut, “membawa singgasana” adalah mengambil alih otoritas atau menghadirkan simbol kekuasaan Ratu Balqis di hadapan Nabi Sulaiman untuk menunjukkan tunduknya Balqis kepada kekuasaan Allah (Sistem Allah yang Haq).

Secara bahasa, kata Ifrit  dalam bahasa Arab berasal dari akar kata afara yang memiliki makna dasar kecerdikan, kelicikan, atau kekuatan luar biasa. Dalam konteks penggunaan, Ifrit mengacu pada sosok yang memiliki kemampuan tinggi, baik dalam hal kekuatan fisik maupun kecerdasan, tetapi sering juga dikaitkan dengan sifat yang sulit dikendalikan atau berbahaya. Dalam literatur klasik Arab, kata Ifrit sering digunakan untuk merujuk pada makhluk yang kuat, cerdas, dan sulit ditaklukkan. Kata ini tidak selalu memiliki konotasi negatif, tetapi bisa menggambarkan seseorang yang luar biasa dalam kemampuan tertentu. 

Dengan demikian kata Ifrit dalam bahasa Arab merujuk pada sosok yang memiliki kecerdasan tinggi, kekuatan, dan kepandaian dalam bekerja. Jin Ifrit di sini tidak perlu dipahami sebagai makhluk gaib atau berapi-api, tetapi dapat dimaknai sebagai seseorang dari golongan jin (makhluk cerdas yang pemikirannya jauh diatas rata-rata dan sangat cerdas dan memiliki kemampuan luar biasa).

Dalam hal ini, Ifrit menawarkan untuk mengambil alih kedudukan Ratu Balqis atau memindahkan kekuasaannya secara cepat (dalam waktu sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduknya/kekuasaannya). Pernyataan Ifrit menggambarkan bahwa dia memiliki keahlian dan sumber daya yang signifikan, tetapi dia tetap terbatas dibandingkan dengan seseorang yang memiliki “ilmu dari kitab.” Tokoh ini disebut sebagai seseorang yang memiliki “ilmu Nabi Sulaiman dipilih Allah untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu, ibaratnya baik yang
tampak maupun yang tersembunyi, harus tunduk pada kehendak-Nya. Keberadaan hewan
dan jin dalam kisah ini menjadi simbol bagi umat manusia untuk selalu mengikuti wahyu dan
menggunakan akal untuk dapat memahami kebenaran yang diajarkan oleh-Nya maupun
melalui saksi-saksi-Nya. dari kitab”  yang berarti dia memiliki pemahaman mendalam tentang ilmu
Allah atau hukum-hukum yang dapat mengatasi kemampuan fisik maupun teknis yang ditawarkan oleh jin Ifrit. Tokoh tersebut menawarkan untuk memindahkan singgasana lebih cepat (sebelum mata berkedip) yang mengindikasikan kemampuannya jauh melampaui Ifrit, bukan berarti memindahkan kekuasaan dalam sekejap yang bersifat magis atau tidak masuk akal. Namun, jika dilihat secara simbolis, “pemindahan singgasana” dapat berarti transformasi kekuasaan atau perubahan status politik dan spiritual Balqis menuju pengakuannya terhadap keesaan Allah. Hal tersebut diperkuat oleh respons Nabi Sulaiman, yang menyebut kejadian itu sebagai karunia Allah untuk mengujinya, apakah dia bersyukur atau tidak.

QS. An-Naml (27:40) menunjukkan bahwa kecerdasan saja tidak cukup jika tidak disertai pemahaman terhadap ketetapan Allah. Ifrit, yang dikenal kuat dan cerdik, menawarkan kekuatannya untuk memindahkan singgasana Balqis. Namun, ia kalah oleh seseorang yang memiliki ilmu dari kitab, yakni pemahaman mendalam tentang hukum dan sistem Allah. Dapat dipahami dan ditegaskan bahwa kecerdasan manusia atau kemampuan luar biasa seperti yang dimiliki Ifrit tetap terbatas tanpa pemahaman terhadap ketetapan dan kehendak Allah. Orang dengan ilmu dari kitab yang memahami sunnatullah dapat memahami bagaimana cara kerja sistem Allah, kekuasaan-Nya, serta ketetapannya sehingga mampu bertindak lebih benar dan efisien dibandingkan kekuatan belaka. Kecerdasan tanpa panduan Sang Pencipta Alam Semesta hanya menghasilkan kekuatan yang kosong.

Kisah dalam Surat An-Naml (27:38-40) bukan berbicara tentang keajaiban, tetapi mengandung pelajaran mendalam tentang pentingnya kebijaksanaan, otoritas, dan kekuasaan yang tunduk kepada kehendak Allah. Selanjutnya, singgasana bukan hanya simbol kekuasaan duniawi, tetapi menunjukkan betapa segala kekuasaan baik yang bersifat fisik maupun metafisik berada di bawah kekuasaan Allah.

Nabi Sulaiman dipilih Allah untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu, ibaratnya baik yangtampak maupun yang tersembunyi, harus tunduk pada kehendak-Nya. Keberadaan hewan dan jin dalam kisah ini menjadi simbol bagi umat manusia untuk selalu mengikuti wahyu dan menggunakan akal untuk dapat memahami kebenaran yang diajarkan oleh-Nya maupun melalui saksi-saksi-Nya.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *