“Apa jadinya jika kita diajarkan bahwa 2+2=5?”
Di dunia yang waras, ini jelas sebuah kesalahan. Tetapi dalam dunia yang dikendalikan oleh propaganda, ini bisa menjadi “kebenaran” yang dipaksakan. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh George Orwell dalam novel 1984. Dalam novel tersebut, pemerintah totaliter mengontrol kebenaran, dan jika mereka cukup kuat, mereka bisa membuat rakyat percaya bahwa 2+2=5.
Tentu, ini bukan soal matematika. Ini adalah soal bagaimana kekuasaan bisa memanipulasi kenyataan. Jika mereka bisa memaksa orang percaya pada sesuatu yang jelas-jelas salah, maka mereka juga bisa mengendalikan segala aspek kehidupan. Dulu ini hanya fiksi, tapi hari ini kita mulai melihatnya terjadi dalam realitas.
2+2=5 dalam Sejarah Modern
Pada awal 2010-an, dunia menyaksikan gelombang revolusi yang disebut Arab Spring. Dimulai dari Tunisia, gerakan ini meluas ke Mesir, Libya, Suriah, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.
Narasi yang dibangun sebelum revolusi adalah bahwa pemerintah-pemerintah otoriter di sana membawa stabilitas, ekonomi kuat, dan rakyat sejahtera. Namun, kenyataannya jauh berbeda.
• Rakyat hidup dalam kemiskinan dan penindasan, tetapi media menggambarkan kondisi negara sebagai “baik-baik saja”.
• Korupsi merajalela, tetapi narasi yang beredar adalah bahwa pemerintah bekerja untuk rakyat.
• Demokrasi tidak ada, tetapi dunia luar tetap percaya bahwa negara-negara tersebut stabil dan aman.
Ketika protes besar-besaran muncul, narasi baru diciptakan:
• Demonstran bukan rakyat yang menuntut hak, tapi “pengacau negara”.
• Kritikus bukan pejuang keadilan, tapi “agen asing”.
• Rezim bukan penindas, tapi “penjaga stabilitas”.
Dampaknya? Beberapa pemimpin terguling, tetapi sebagian besar negara justru jatuh ke dalam konflik yang lebih besar.
2+2=5 di Indonesia Hari Ini
Hari ini, kita merasakan hal yang serupa di Indonesia. Kebenaran mulai dikaburkan, dan kebohongan terus diulang hingga dianggap sebagai kenyataan.
• Ekonomi lesu, tapi disebut kuat.
• Utang negara melonjak, tapi disebut baik.
• Kebebasan berpendapat dikriminalisasi, tapi disebut demokrasi.
• Pembangunan masif, tapi rakyat tetap membayar mahal untuk menikmatinya.
Kita diminta percaya bahwa semuanya baik-baik saja, padahal realitas di lapangan berkata sebaliknya.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
• Karena yang berkuasa mengontrol narasi.
• Karena banyak orang takut bertanya.
• Karena kebohongan yang diulang terus-menerus akhirnya dianggap benar.
Pemerintah, media, dan elite yang memiliki kepentingan terus membentuk opini publik dengan cara yang sistematis. Kritik dibungkam, angka-angka dimanipulasi, dan mereka yang melawan dipersekusi. Narasi yang bertentangan dengan kepentingan kekuasaan dianggap sebagai ancaman.
Ini bukan pertama kalinya dunia melihat hal seperti ini. Dan ini juga bukan pertama kalinya Islam memperingatkan kita.
Peringatan dari Kitab Suci
“Mereka berkata, ‘Kami hanyalah orang-orang yang memperbaiki.’ Padahal, mereka itulah perusak, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqarah: 11-12)
“Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Tuhan Semesta Alam, Allah SWT sudah sejak lama memperingatkan bahwa akan ada kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pembawa kebaikan, padahal merekalah sumber utama kehancuran. Mereka membangun narasi yang seolah-olah adil dan benar, tetapi di baliknya hanya ada keserakahan dan kepentingan.
Pelajaran dari Arab Spring dan Indonesia Hari Ini
Dulu, rakyat Arab percaya kebohongan sistem hingga mereka bangkit. Tetapi ketika mereka bangkit, sistem pun bereaksi dengan cara yang lebih keras. Kita melihat siklus ini berulang dalam sejarah: ketika kebohongan terlalu lama dipelihara, maka ledakan sosial menjadi tak terhindarkan.
Hari ini, kita menghadapi pilihan besar. Apakah kita akan membiarkan 2+2 tetap menjadi 5?
Sejarah telah mengajarkan bahwa jika kebenaran terus dibungkam, maka suatu saat hal buruk pasti terjadi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mulai bertanya → Jangan terima narasi mentah-mentah.
Baca banyak sumber → Jangan hanya dari media mainstream.
Berani bicara → Jika diam, kita ikut membiarkan 2+2 tetap menjadi 5.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim No. 49)
Kita punya tanggung jawab untuk menolak kebohongan, sekecil apa pun upaya kita. Karena jika tidak, kita akan menjadi bagian dari sistem yang menciptakan kebohongan itu sendiri.
Kesimpulan: Kebenaran atau Kepatuhan?
Hari ini, dunia semakin menuju era di mana kebenaran bukan lagi fakta, tetapi kesepakatan.
Kebenaran bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang lebih kuat untuk mendikte realitas.
Jika kita hanya diam dan mengikuti arus, maka kita akan dipaksa percaya bahwa 2+2 memang benar-benar sama dengan 5.
Lalu, kita pun akan menjadi bagian dari kebohongan itu sendiri.
Mau #kaburajadulu? Ke mana? Mayoritas dunia juga lagi masuk era krisis karena fasis. Kalau bukan kita yang berusaha berubah, siapa lagi?