Dalam banyak peradaban manusia, selalu ada satu fase ketika kekuasaan membesar tanpa batas. Ketika pemimpin bukan sekadar pengatur administrasi atau penyeimbang sosial, tetapi mulai melangkah ke ranah pengaturan hidup manusia seolah-olah dialah satu-satunya sumber kebenaran. Inilah wajah otoritarianisme yaitu sistem yang membentuk pola ketaatan sepihak kepada satu pihak, tanpa ruang bertanya. Sistem ini sering membungkus dirinya dengan narasi “demi rakyat”, “demi keamanan”, atau bahkan “demi keutuhan”.
Dalam Surah An-Nazi’at ayat 24, Allah mengabadikan sebuah deklarasi dari penguasa Mesir:
“Ana rabbukumul a‘la”
“Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
(QS An-Nazi’at: 24)
ayat ini bukan sekadar bentuk arogansi personal namun, ayat ini adalah puncak dari mentalitas otoritarianisme: ketika seorang pemimpin mengklaim posisinya sebagai sumber tunggal pengaturan hidup bangsa pada saat itu. Di masa Fir’aun, kata “rabb” bermakna pengatur, pemelihara, pemberi hukum. Dan ketika Fir’aun menyebut dirinya sebagai “rabbukum”, ia sedang menegaskan kekuasaannya pada kehidupan sosial-politik saat itu.
Penting untuk dicatat, Fir’aun tidak mengatakan itu dalam konteks spiritual. Ia menyatakan diri sebagai pengatur tertinggi kehidupan bangsanya disaat itu. Dengan mengangkat dirinya ke posisi “rabb”, dalam alih peran pengaturan suatu Bangsa. Inilah bentuk dari otoritarianisme: ketika pemimpin tidak lagi mengelola, tetapi mengklaim hak penuh hukum dan aturan atas manusia.
Kebanyakan orang hanya mengenali otoritarianisme dalam bentuk kekuasaan militer, hukum keras, atau figur penguasa mutlak. Tapi ada bentuk lain yang lebih halus: otoritarianisme intelektual. Yaitu ketika seseorang dilarang menyelidiki, mempertanyakan, atau mencari kebenaran atas sesuatu yang diklaim benar oleh penguasa atau elit tertentu.
Al-Qur’an, secara tajam, membantah pola ini. Dalam QS Al-Isra’ ayat 36, Allah berfirman:
“Wa la taqfu ma laisa laka bihi ‘ilm, inna as-sam’a wal-basara wal-fu’ada kullu ula’ika kana ‘anhu mas’ula.”
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
Ayat ini bukan hanya seruan terkait intelektualitas, tetapi juga pembongkaran terhadap semua bentuk ketaatan membabi buta. Ketika manusia dilarang bertanya, ketika warga hanya diperintahkan mengikuti tanpa tahu dasar kebenarannya, maka di situlah bentuk otoritarianisme bekerja. Dan ayat ini menolak itu semua. Ayat ini menegaskan bahwa setiap individu punya tanggung jawab sendiri atas apa yang ia dengar, lihat, dan pahami. Dengan kata lain: tidak ada ruang untuk “saya hanya mengikuti perintah” ketika seseorang berbuat salah. Otoritarianisme tidak hanya menindas fisik, tetapi juga membungkam akal yang mematikan kepekaan manusia terhadap kebenaran. Maka jelas, nilai yang dibawa oleh otoritarianisme bertentangan dengan prinsip yang ditegaskan oleh QS 17:36: bahwa setiap orang harus berpikir, menyelidiki, dan bertanggung jawab atas ilmunya.
Otoritarianisme lahir dari klaim sepihak bahwa kekuasaan bisa menyatu dengan kebenaran mutlak. Seolah-olah, jika seorang pemimpin sudah berkuasa, maka seluruh kehendaknya tak boleh dikritik. Tapi Al-Qur’an justru mengajarkan bahwa kebenaran tidak otomatis melekat pada jabatan. Bahkan para nabi pun diuji, dibantah, dan berdialog dengan umatnya, karena Islam tidak mengenal bentuk klaim kebenaran yang tak bisa diuji.
Dalam kehidupan sehari-hari, otoritarianisme bisa menjelma dalam banyak bentuk: dalam organisasi, bahkan relasi antarindividu. Ketika seseorang menutup ruang diskusi dan merasa paling benar hanya karena memiliki jabatan, maka ia sudah berada di jalan yang sama dengan Fir’aun, meski tanpa mahkota.
Otoritarianisme gagal karena satu hal: ia ingin mengendalikan kebenaran. Tapi dalam tatanan ilahi, kebenaran tidak lahir dari paksaan. Ia tumbuh dari pencarian, pengamatan, dan pertanggungjawaban. Setiap bentuk pengaturan di luar-Nya yang tidak adil, tak bisa dibenarkan walau dibungkus dengan dalih ketertiban atau kebaikan bersama.
Penulis & Editor: Reine