Chauvinisme adalah kepercayaan bahwa kelompok, bangsa, atau identitas diri adalah yang paling unggul dan lebih mulia daripada yang lain. Ia bisa muncul dalam bentuk nasionalisme berlebihan, fanatisme suku, bahkan kaum yang merasa merekalah yang benar.
Pada mulanya, rasa cinta pada kelompok sendiri adalah hal yang manusiawi. Tapi saat cinta itu berubah menjadi penolakan terhadap yang lain, penghinaan terhadap perbedaan, atau bahkan pembenaran penindasan, di situlah chauvinisme menjelma menjadi racun sosial.
Contoh Nyata Chauvinisme
• Etnosentrisme sejarah yang menyatakan satu ras lebih superior daripada yang lain.
• Nasionalisme sempit yang menganggap hanya warga bangsanya yang pantas dihormati.
• Kelompok berpaham ekstrem yang mengklaim satu-satunya kebenaran, namun tidak bersandar pada prinsip keadilan, menjadikan semua di luar kelompoknya sebagai musuh, tanpa introspeksi atau hujjah yang kokoh. Contoh melakukan labeling kepada kelompok lain langsung tanpa adanya dasar ilmiah
Dampaknya? Fragmentasi sosial, konflik antar komunitas, diskriminasi, bahkan genosida. Sejarah dunia penuh dengan luka yang disebabkan oleh chauvinisme yang dibungkus semangat “kebanggaan.”
Bagaimana Pandangan Abrahamik Memandang Ini?
Dalam warisan kenabian dari Ibrahim manusia tidak diukur dari asal usulnya, tetapi dari kebenaranannya.
Tuhan menjadikan Ibrahim pemimpin bukan untuk satu kaum, tapi bagi seluruh umat manusia (QS Al-Baqarah:124).
Dan ketika Ibrahim memohon agar keturunannya pun mendapat bagian dari perjanjian itu, Tuhan menjawab:
“Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.”
(Al-Baqarah:124)
Artinya, bukan keturunan biologis yang menjamin kebenaran, tapi perilaku adil dan lurus yang menjadi ukuran.
Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat ayat 13)
Pandangan ini membebaskan manusia dari keangkuhan identitas. Bahwa nilai seseorang bukan ditentukan oleh etnis, bangsa, atau kelompok keagamaannya, tapi dari ketundukan kepada prinsip keadilan dan tauhid yang satu.
Perspektif Abrahamik vs Chauvinisme
Tauhid dalam pandangan Abrahamik menempatkan Tuhan sebagai pusat nilai, bukan kelompok. Maka segala bentuk klaim kebenaran yang berbasis pada identitas sempit otomatis tertolak.
Chauvinisme menyembah kelompok. Abrahamik mengabdikan kebenaran. Chauvinisme memecah manusia. Abrahamik menyatukan umat manusia sebagai satu kesatuan yang diuji bukan atas nama leluhur, tapi atas pilihan hidupnya.
Chauvinisme adalah salah satu bentuk isme-isme yang paling menipu. Ia membungkus keangkuhan dengan kebanggaan. Ia membenarkan penindasan dengan nama kesucian.
Dalam perspektif Abrahamik, keadilan, kasih, dan kesatuan lebih utama daripada kebanggaan sempit. Maka, siapa pun kita, dari mana pun kita berasal, jika kita mengaku mengikuti jejak para nabi, maka chauvinisme tak punya tempat di hati kita.
Karena kebenaran tidak perlu dibungkus dengan bendera. Dan Tuhan tidak menghakimi dari sisi warna, suku, melainkan dari bagaimana kita berdiri di hadapan-Nya.
Penulis: Abqurah