Menjadi Saksi di Dunia Yang Terbakar : SAKSI ASLI atau SAKSI PALSU

Dunia hari ini seperti kapal yang oleng di tengah badai.

Di satu sisi, teknologi melesat tak terkendali; di sisi lain, peradaban manusia justru terasa makin kosong, rapuh, dan brutal.

Perang masih membakar kota-kota. Gaza porak poranda. Ukraina masih dihantam peluru. Banyak negara di ambang konflik, dan Perang Dunia seolah tinggal menunggu waktu. Di luar itu, kerusakan lingkungan makin parah, jurang ketimpangan makin lebar, dan manusia kehilangan arah: tak tahu siapa yang harus dipercaya, tak tahu sistem apa yang bisa menyelamatkan.

Di tengah dunia yang kehilangan kompas moral dan sistem yang gagal menjamin keadilan, kita patut bertanya:

Masih adakah sistem yang mampu membawa umat manusia keluar dari krisis global ini?

Adakah figur atau model kepemimpinan yang bisa membawa kita pada kehidupan yang bermartabat, bukan sekadar bertahan hidup?

Jawabannya tidak bisa kita temukan dalam sistem-sistem buatan manusia yang ada sekarang. Demokrasi liberal, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, semuanya sudah kita coba. Tapi buktinya, dunia tetap tidak damai, tetap timpang, tetap penuh penindasan.

Maka pertanyaan selanjutnya muncul:

Bagaimana jika kita kembali menengok sistem hidup yang pernah dibawa oleh para Rasul?

Bagaimana jika kita bukan hanya mengenang mereka sebagai tokoh suci, tapi benar-benar mempelajari sistem kehidupan yang mereka bangun dan menjadikannya acuan kita hari ini?

Ketika Sistem Dunia Kehilangan Ruh

Banyak pemimpin dunia hari ini memiliki kuasa, tapi tidak punya arah moral. Mereka bisa membuat kebijakan, menggerakkan tentara, mencetak uang, bahkan memblokir kebenaran dengan propaganda. Tapi satu hal yang tidak mereka miliki: cahaya atau ruh Ilahi.

Sistem dunia hari ini dibangun bukan lagi berdasarkan nilai-nilai Tuhan, tapi di atas kepentingan manusia: uang, pengaruh, dominasi, gengsi. Hasilnya bisa kita lihat: ketidakadilan, konflik, korupsi, dan kehampaan makna.

Dunia tidak kekurangan pemimpin, tapi kekurangan saksi. Saksi atas kebenaran yang datang dari Tuhan. Saksi atas sistem hidup yang datang dari langit, bukan dari ego manusia.

Di sinilah relevansi para Rasul muncul kembali pada setiap zamannya masing-masing. Bukan sebagai figur sejarah, tapi sebagai fondasi sistem alternatif. Mereka datang bukan hanya membawa ajaran moral atau ibadah ritual, tapi menawarkan cara hidup menyeluruh: sistem politik, hukum, ekonomi, sosial, dan spiritual yang dibangun atas nama Tuhan yang Mahaadil.

Rasul: Figur yang Membawa Sistem Alternatif

Setiap kali umat manusia tersesat, Allah mengutus seorang Rasul. Ia bukan sekadar pengkhotbah, penyeru kebaikan, tapi pemimpin sejati. Ia hadir membawa firman Tuhan dan menjalankan sistem hidup yang sejalan dengan fitrah manusia.

Mereka datang tidak untuk memperkuat kekuasaan raja atau memperindah istana kekaisaran, tapi justru mengguncang sistem-sistem dunia yang zalim. Musa melawan Firaun. Ibrahim menghancurkan berhala. Isa mengkritik hipokrisi para pendeta Yahudi. Muhammad membongkar tatanan Quraisy yang kapitalistik dan patriarkal.

Rasul bukan tokoh apolitis. Mereka adalah revolusioner yang ditugaskan untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama, agar kembali tunduk hanya kepada Allah.

Dan inilah yang hilang dari dunia modern. Kita bebas secara hukum, tapi tetap diperbudak oleh sistem. Kita punya hak pilih, tapi tak pernah benar-benar memilih jalan Tuhan.

Mengenal Allah: Jalan Keluar dari Krisis

Tapi bagaimana manusia bisa mengenal Allah di tengah dunia yang makin lalai?

Jawabannya sederhana: lewat tiga potensi dasar yang Allah tanamkan dalam diri kita, pendengaran, penglihatan, dan akal. Dengan ketiganya, kita bisa membaca dua kitab Allah:

1. Kitab Kauniyah: alam semesta, realitas, kehidupan, sejarah.

2. Kitab Qauliyah: wahyu yang diturunkan kepada para Rasul.

“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.” (QS Fushshilat: 53)

Artinya, jika kita jujur membaca dunia dan membaca wahyu, kita akan tahu bahwa hidup ini bukan tanpa arah. Ada sistem Ilahi yang teratur, dan ada pesan Tuhan yang menuntun manusia untuk kembali ke jalan yang lurus.

Sayangnya, potensi manusia sering kali dibisukan.

“Mereka punya hati, tapi tak digunakan untuk memahami; mata, tapi tak digunakan untuk melihat; telinga, tapi tak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS Al-A’raf: 179)

Rasul: Pembaca dan Penegak Prinsip Tuhan

Wahyu pertama kepada Rasulullah adalah perintah untuk membaca—bukan hanya teks, tapi realitas:

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS Al-‘Alaq: 1)

Membaca dunia. Membaca manusia. Membaca sistem yang rusak. Dan kemudian, menyuarakan prinsip-prinsip Tuhan: isme-isme Allah, seperti Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al-Adl (Yang Maha Adil).

Tugas Rasul bukan hanya menyampaikan wahyu, tapi menegakkan sistem yang sejalan dengan sifat-sifat Allah. Dan ini bukan semata ajaran spiritual. Ini adalah dasar peradaban.

Maka ketika dunia hari ini diatur oleh sistem buatan manusia yang rusak, kita perlu bertanya:

Masihkah kita menolak sistem Ilahi, padahal sistem manusia sudah berkali-kali gagal?

Kita Bukan Rasul, Tapi Bisa Jadi Saksi

Tentu kita bukan Rasul. Bukan sosok yang “dibisik” secara langsung oleh sang kausa prima. Tapi kita bisa menjadi saksi, perpanjangan cahaya dari risalah itu.

Ketika seseorang bersyahadat, ia sejatinya sedang menyatakan kesaksian. Tapi apakah kesaksian itu hanya sebatas lisan?

Saksi sejati adalah orang yang mengalami, memahami, dan menghidupi apa yang ia saksikan. Kalau seseorang bersyahadat tapi hidupnya tidak mencerminkan prinsip-prinsip Allah, maka ia belum menjadi saksi sejati. Mungkin hanya menjadi saksi palsu.

Allah tidak hadir dalam bentuk fisik. Tapi Ia memberikan bukti-bukti keberadaan-Nya dengan Alam yang penuh keteraturan dan Rasul yang menjadi teladan.

Dan Ia butuh manusia yang menyaksikan semua itu, lalu menyampaikannya ke dunia.

“Agar Rasul menjadi saksi atas dirimu, dan kamu menjadi saksi atas manusia.” (QS Al-Hajj: 78)

Menghidupkan Kembali Sistem Kenabian

Menjadi saksi Allah bukan otomatis jadi nabi baru. Tapi artinya adalah:

• Menegakkan nilai-nilai Allah di tengah sistem manusia yang rusak.

• Tidak larut tunduk pada sistem yang bertentangan dengan wahyu.

• Menghidupkan kembali model kepemimpinan yang adil, sistem ekonomi yang penuh kasih, dan kehidupan sosial yang bermartabat, berdasarkan prinsip langit.

Artinya, kita bukan hanya beribadah di masjid shalat lima waktu. Atau saat ke gereja. Tapi kita membawa nilai-nilai Allah ke meja kebijakan, panggung pendidikan, berekonomi, ruang keluarga, dunia digital & semua ruang hidup manusia.

Akhirnya…

Dunia tidak butuh ideologi baru. Dunia butuh manusia-manusia yang bersaksi bahwa sistem Allah masih relevan dan layak ditegakkan. Bukan sebagai utopia masa lalu, tapi sebagai jalan hidup masa depan. Kamu tidak diminta sempurna. Kamu diminta untuk menjadi saksi untuk sistem yang sempurna. Kamu diminta setia pada kesaksian. Jangan tukar kesaksianmu dengan jabatan, harta, atau popularitas. Jangan diam di tengah dusta yang merajalela.

Allah membeli kita bukan untuk diperbudak, tapi untuk ditinggikan.

Ia menuntut kita menjadi saksi yang setia di tengah zaman yang penuh fitnah dan tipu daya.

Pertanyaan Terakhir

Apakah kamu siap menjadi saksi sejati, bukan saksi palsu, di tengah zaman yang penuh kehancuran? Apakah kamu siap membawa sistem ilahi kembali hidup, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai solusi?

Jawabannya bukan di lisan kita.

Tapi dalam hidup kita.

Dan sejarah akan mencatat, apakah kita berdiri di sisi kebenaran… atau hanya jadi penonton dunia yang terbakar.

Kita tidak bisa diam saat dunia kehilangan arah.

Tapi kita juga tidak bisa bergerak sendiri.

Jika kamu percaya bahwa cahaya Tuhan harus kembali menjadi poros hidup manusia, mari saling menyapa.

Temui kami di Teodisi.

Karena menjadi saksi tak pernah sekuat saat dilakukan bersama.

Penulis: Abqurah