Di dunia hari ini, pluralisme sering dijunjung sebagai solusi atas konflik antariman dan keberagaman budaya. Ia dirayakan dalam seminar, dikutip dalam pidato, dan disisipkan ke dalam kurikulum. Namun, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah pluralisme benar-benar solusi… atau justru jebakan?
Bagi sebagian besar orang, pluralisme dipahami sebagai toleransi terhadap perbedaan, dan itu tentu nilai yang baik. Tapi pluralisme tidak berhenti di toleransi. Ia bukan sekadar mengajarkan kita untuk hidup damai dengan yang berbeda, tapi mendorong sebuah doktrin baru:
bahwa semua jalan itu benar. Semua keyakinan valid. Semua nilai spiritual sama tingginya.
Dan di sinilah letak masalahnya.
Pluralisme: Obat Sosial, Racun Kebenaran
Pluralisme teologis menyamakan semua agama sebagai sama benarnya. Ia tidak hanya meminta kita untuk menghormati perbedaan, tapi menolak eksistensi kebenaran tunggal. Pertanyaannya: kalau semua jalan dianggap benar, untuk apa memilih satu jalan dengan sungguh-sungguh?
Pluralisme mengikis urgensi pencarian kebenaran. Ia membuat iman kehilangan ketegasannya. Dan lebih dari itu, pluralisme menjinakkan kebenaran ilahi agar tidak lagi menjadi fondasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik. Spiritualitas dipaksa menjadi urusan privat yang tidak boleh mengintervensi urusan publik padahal dari awal, agama dibatasi menjadi tata ritual belaka.
Kita sering dengar: “Jangan fanatik, semua agama mengajarkan kebaikan.” Tapi pernyataan ini, meski terdengar damai, secara tidak sadar menolak perbedaan prinsipil antara sistem kepercayaan yang satu dan lainnya. Islam bukan sekadar “ajaran baik”, tapi petunjuk hidup yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar.
Toleransi memang penting, tetapi toleransi yang tak berdasar pada kebenaran hanya akan menjebak kita dalam relativisme. Dan relativisme spiritual adalah pembusukan terhadap iman. Dalam masyarakat plural yang terlalu lunak, kita sering kali justru menjadi intoleran terhadap orang yang berpegang teguh pada kebenaran, karena dianggap “tidak menghargai yang lain.”
Kebanyakan orang hanya mengutip setengah kalimat dari semboyan Indonesia:
Bhinneka Tunggal Ika – Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Namun kalimat lengkapnya, dari Kakawin Sutasoma, berbunyi:
“Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa”
(Berbeda-beda tetapi tetap satu, tiada kebenaran (dharma) yang bermuka dua.)
Artinya, meskipun kita hidup di tengah keberagaman, kebenaran tidak bisa banyak. Tidak bisa ada dua dharma. Keberagaman bukan alasan untuk menyangkal eksistensi kebenaran tunggal.
Jadi, justru dalam tradisi nusantara yang paling luhur, pluralisme yang merelatifkan kebenaran adalah pengkhianatan terhadap nilai yang sebenarnya.
Lebih dari sekadar wacana etis, pluralisme telah menjadi alat kekuasaan. Ia digunakan untuk menjinakkan umat, agar mereka tidak lagi menggunakan iman sebagai landasan sikap politik, budaya, dan sosial.
Ketika umat Islam ingin menjadikan agamanya sebagai fondasi dalam tata kelola kehidupan, mereka dicap sebagai “intoleran” atau “anti-keragaman”. Padahal mereka tidak sedang memaksa orang lain, hanya sedang berdiri di atas prinsipnya sendiri.
Pluralisme, dalam konteks ini, bukan lagi nilai, tapi ideologi kekuasaan yang menuntut semua orang mengalah terhadap relativisme.
Di masyarakat modern yang dipengaruhi liberalisme dan kapitalisme, nilai tertinggi bukan lagi Tuhan, tapi pasar dan pilihan.
Agama boleh hidup, asal dibatasi:
✔️ Shalat boleh, asal tak bicara zakat sebagai sistem ekonomi.
✔️ Puasa boleh, asal tak menyinggung distribusi pangan.
✔️ Baca Qur’an boleh, asal tak menjadikannya dasar perundang-undangan.
Agama dipersilakan eksis, asal tidak mengatur.
Iman dijinakkan menjadi privat, dan keputusan hidup diserahkan ke pasar.
Inilah bentuk ketuhanan yang didomestikasi: spiritual tapi tanpa kekuatan struktur, ibadah tanpa dampak sosial, iman tanpa peradaban. Kita diberi kebebasan beragama, tetapi tidak diberi ruang untuk menjadikan kebenran ilahi sebagai sistem hidup.
Toleransi bukan berarti menanggalkan prinsip. Hidup damai bukan berarti membubarkan batas. Dan pluralisme yang sehat bukan berarti semua nilai sama rata. Justru jika kita benar-benar menghargai perbedaan, kita harus berani berdiri teguh pada apa yang kita yakini benar tanpa menghakimi, tapi juga tanpa menyerah.
Karena bila kita terlalu toleran pada kebingungan, kita akan kehilangan arah.
Dan tanpa arah, semua jalan tampak benar, padahal bisa saja semuanya sesat.
Penulis: Abqurah