Siklus Zaman: Pada Kekuasaan Firaun, Musa Akan Bangkit

Setiap rezim yang menindas akan melahirkan keberanian yang membebaskan.

Di dalam sejarah yang berulang, kita mengenal dua wajah kekuasaan: Firaun dan Musa. Dua nama yang tak sekadar mewakili tokoh masa lalu, tetapi menjelma menjadi simbol pergulatan kekuasaan dan kebenaran yang terus hidup dalam denyut zaman.

Firaun hadir sebagai representasi dari rezim yang absolut, penguasa yang mempersonifikasikan dirinya sebagai tuan, yang mengatur hidup dan mati, membungkam suara, dan menindas yang lemah demi kekekalan takhta. Tapi sejarah tidak berhenti di situ. Setiap kali Firaun bangkit dengan segala keangkuhannya, selalu datang Musa, seorang yang mungkin tidak fasih berbicara, tapi menggemakan suara Tuhan dan menyerukan pembebasan.

Rezim Firaun Hari Ini

Kita hidup di era ketika banyak kekuasaan kembali menjelma seperti Firaun: membangun narasi tunggal, memperalat teknologi dan birokrasi untuk mengawasi, mengontrol, dan mendikte jalan hidup masyarakat. Kebenaran dipelintir, oposisi dibungkam, dan mereka yang bertanya dianggap pengkhianat. Tak ubahnya Haman, para tangan kanan penguasa yang sibuk melabeli siapa yang “benar” dan siapa yang “sesat”, menciptakan propaganda demi melanggengkan status quo.

Namun sejarah telah mengajarkan kita, bahwa digdayanya kekuasaan seperti ini tak pernah langgeng. Karena dalam setiap fase peradaban, selalu lahir Musa-Musa baru: mereka yang membawa obor keberanian, mengajak manusia kembali pada kebenaran, membongkar kebohongan sistemik, dan membuka jalan bagi pembebasan hakiki.

Siklus Peradaban: Sinusoidal Antara Tirani dan Penebus

Perjalanan umat manusia adalah gelombang. Bukan garis lurus ke kemajuan, tetapi gelombang naik dan turun, seperti sinyal sinus yang mempergilirkan kekuasaan. Ada masa ketika para pemimpin yang adil, penuh welas asih, hadir sebagai penyembuh luka bumi. Namun di saat lengah, datanglah para penindas, pemimpin yang menjadikan kekuasaan bukan sebagai amanah, melainkan alat pemujaan diri.

Pergiliran ini nyata. Setiap kejatuhan peradaban tak pernah terjadi tanpa benih kezaliman yang tumbuh di dalam sistemnya sendiri. Dan setiap kebangkitan dimulai dari suara yang dianggap kecil, tak penting, bahkan terancam untuk dibungkam, seperti Musa yang awalnya hanya anak buangan di sungai Nil.

Siapkah Kita Berdiri di Sisi Musa?

Pertanyaannya sekarang: jika kita hidup di era Firaun, siapkah kita berdiri di sisi Musa?

Karena keberpihakan bukan hanya soal ucapan, tapi keberanian mengambil risiko. Dalam narasi kehidupan, kita selalu memilih protagonis. Kita mencintai pahlawan. Tapi ketika hidup nyata menghadapkan kita pada dilema, akankah kita benar-benar memilih sang pembebas? Atau justru tunduk pada intimidasi sistem dan menyambut propaganda sang penindas?

Sebab dalam setiap kekuasaan Firaun, para pengikut Haman akan berbondong-bondong mencap Musa sebagai gila, sesat, pembawa kerusakan. Maka keberpihakan pada Musa bukan soal logika belaka, tapi komitmen batin—berani menolak narasi dominan, meski harus sendiri.

Menjadi Musa Hari Ini

Terkadang, menjadi Musa berarti berani berkata tidak pada ketidakadilan.

Berani bertanya saat yang lain diam.

Berani mencintai ketika yang lain membenci.

Berani menjaga nurani di tengah suara mayoritas yang bising dan memabukkan.

Penutup: Ketika Musa Lahir, Dunia Tak Lagi Sama

Dunia tak pernah sama ketika Musa muncul.

Karena ia menandai datangnya babak baru: di mana manusia kembali melihat terang, kembali pada martabat, dan merasakan napas kebebasan. Maka bila hari ini kita melihat tanda-tanda Firaun kembali digdaya, percayalah: kelahiran Musa sudah dekat. Tapi pertanyaannya: siapkah kita menjadi bagian dari jalannya Musa, atau tetap menjadi penonton dalam lakon yang menentukan arah zaman?

Penulis: Abqurah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *