Di tengah hiruk pikuk kekisruhan politik di indonesia beberapa waktu terakhir, orang-orang mulai mencari alternatif gagasan bagaimana idealnya sebuah sistem kelola peradaban. Dalam sejarah peradaban, manusia selalu berusaha menyusun aturan dan kesepakatan untuk mengatur hidup bersama. Di Indonesia hari-hari terakhir, kita melihat bagaimana sebuah daftar tuntutan politik yang disebut “17+8” banyak diperbincangkan. Isinya berisi poin-poin yang diklaim sebagai jalan menuju perubahan, bahkan dianggap harga mati oleh sebagian kelompok.
Namun, ada satu hal penting yang patut kita renungkan: apakah daftar itu benar-benar jalan kebenaran yang kokoh, ataukah hanya konstruksi sementara yang bisa berubah seiring kepentingan kekuasaan?
Daftar yang Bisa Dinegosiasikan
Sejarah politik mengajarkan bahwa segala produk manusia adalah relatif. Apa yang hari ini dipandang penting bisa besok dianggap usang. Tuntutan bisa dinegosiasikan, disensor, atau bahkan dihapus sesuai siapa yang sedang memegang kuasa.
Begitu pula dengan “17+8”. Ia adalah daftar manusia, lahir dari kalkulasi politik, kompromi, dan strategi. Karena itu, ia tidak suci. Ia bisa dipakai sebagai alat tawar-menawar. Ia bisa ditinggalkan ketika situasi berubah.
Dengan kata lain, 17+8 adalah refleksi dari upaya manusia untuk merumuskan apa yang mereka anggap baik. Tetapi justru karena bersumber dari manusia, ia rapuh dan tidak mutlak.
Ketetapan Tuhan yang Tak Tergoyahkan
Bandingkan dengan firman Allah dalam QS Al-Isra’ ayat 80–81:
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.’
Dan katakanlah: ‘Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap.’ Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.”
Ayat ini menegaskan sesuatu yang jauh lebih mendasar daripada daftar tuntutan manusia. Kebenaran adalah janji Tuhan, sementara kebatilan pasti sirna. Tidak peduli seberapa kokoh kebatilan itu terlihat, pada akhirnya ia rapuh di hadapan cahaya kebenaran.
Berbeda dengan 17+8 yang bisa dinegosiasikan, 17:80–81 adalah ketetapan yang tidak bisa ditawar. Ia tidak bergantung pada siapa yang berkuasa, apa isi tuntutan, atau bagaimana kompromi politik dijalankan.
Membaca Realitas dengan Dua Kacamata
Kita boleh saja membaca 17+8 sebagai ekspresi politik. Tetapi jangan sampai lupa bahwa ekspresi manusia tidak pernah final. Ia hanyalah cermin dari keterbatasan manusia dalam mencari jalan keluar.
Sebaliknya, 17:80–81 mengajarkan kita cara membaca realitas dengan kacamata yang lebih tinggi: bahwa kebenaran tidak butuh legitimasi dari kekuasaan, dan kebatilan tidak bisa bertahan meski ia sementara terlihat perkasa.
Dengan sudut pandang ini, kita tidak jatuh pada glorifikasi buta terhadap sebuah daftar. Kita bisa menempatkan politik sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Tujuan sejati tetaplah mengikuti jalan Allah, yang telah menjamin bahwa kebatilan tidak punya masa depan.
Menghindari Kultus terhadap Daftar
Bahaya terbesar dari mengidolakan 17+8 bukan terletak pada isinya semata, tetapi pada sikap mental yang menuhankan produk manusia. Saat sebuah daftar diperlakukan seakan-akan lebih suci dari wahyu, saat itulah kita kehilangan arah.
Padahal, politik hanyalah kendaraan. Ia bisa dipakai menuju kebaikan, bisa juga disalahgunakan untuk membungkus kebatilan. Yang menentukan bukan daftar tuntutan, melainkan apakah ia selaras dengan jalan kebenaran yang ditetapkan Tuhan.
Penutup
Di hadapan sejarah, 17+8 akan tercatat sebagai salah satu daftar yang pernah diajukan manusia. Ia bisa dilupakan, diubah, atau ditinggalkan. Tetapi 17:80–81 akan terus hidup sebagai janji Tuhan yang tak tergoyahkan: kebenaran pasti menang, kebatilan pasti lenyap.
Inilah bedanya antara daftar manusia yang fana dan ketetapan Tuhan yang abadi. Maka, tugas kita bukan mengkultuskan daftar, tetapi memastikan langkah kita selalu berpijak pada kebenaran yang telah Allah janjikan.
Penulis: Abqurah