Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad SAW dikenal luas sebagai Ahmad bin Abdillah. Ia tumbuh di tengah masyarakat Quraisy dengan reputasi yang begitu terhormat. Gelar Al-Amin yang berarti terpercaya melekat padanya karena sifat jujur, amanah, dan integritasnya. Dalam struktur sosial-politik Mekkah, reputasi ini memberinya tempat di Darun Nadwah, sebuah dewan tempat para tokoh besar berkumpul untuk mengambil keputusan penting.
Darun Nadwah, dalam konteks saat itu, dapat dipahami sebagai semacam parlemen. Ia bukan sekadar klub sosial, melainkan pusat kekuasaan di mana arah masyarakat Mekkah ditentukan. Bagi Ahmad muda, bergabung di lingkaran elite ini menandakan keberhasilan: ia diterima di jantung kepemimpinan Quraisy, sekaligus terikat dengan tradisi dan sistem yang sudah berakar kuat.
Namun, titik balik besar terjadi ketika Ahmad menerima wahyu pertama dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril di usia 40 tahun. Peristiwa monumental ini mentransformasikan dirinya menjadi Rasulullah Muhammad, utusan Allah dengan misi yang melampaui sekadar keterhormatan sosial. Tugasnya kini adalah menyampaikan risalah tauhid, menyerukan kesetaraan, dan menegakkan keadilan, sebuah misi yang langsung berbenturan dengan fondasi kehidupan Mekkah kala itu.
Dari “Al-Amin” Menjadi Ancaman
Transformasi Muhammad membawa konsekuensi besar. Ia yang dahulu dipandang sebagai sekutu justru mulai dianggap ancaman oleh para pemimpin Quraisy. Risalah yang dibawanya menolak penyembahan berhala, menentang praktik eksploitasi, dan mengkritik ketidakadilan sosial yang justru dipelihara oleh sistem Darun Nadwah.
Keputusan Rasulullah untuk menarik diri dari sistem tersebut ibarat sebuah “resign” dari parlemen. Ia tidak bisa lagi mendukung tatanan yang bertentangan dengan tauhid. Loyalitasnya kini hanya kepada Allah. Langkah ini menandai pemutusan hubungan dengan elite Quraisy dan menjadi sinyal awal konfrontasi panjang antara Islam dan kekuasaan tradisional Mekkah.
Resign yang Mengguncang
Mundur dari Darun Nadwah bukanlah sekadar keputusan politik, melainkan pernyataan ideologis. Rasulullah menegaskan bahwa Islam tidak dapat hidup berdampingan dengan sistem syirik yang menopang kekuasaan Quraisy. Seruan tauhid menuntut totalitas, tidak cukup hanya dikenal sebagai pribadi amanah atau pemimpin yang dihormati, sebab di mata Allah semua itu tidak berarti jika masih dalam lingkaran kemusyrikan.
Al-Qur’an mengingatkan hal ini dalam Surah Ad-Duha ayat 7: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung (tersesat), lalu Dia memberi petunjuk.” Ayat ini menegaskan bahwa sekalipun Rasulullah memiliki reputasi mulia sebelum kenabian, status tersebut tetap kosong tanpa petunjuk ilahi. Hanya setelah menerima wahyu, beliau benar-benar dipandu menuju jalan yang lurus.
Menghadapi Pertentangan
Keputusan resign ini tidak diterima dengan ringan. Para pemimpin Quraisy merasa terancam. Mereka yang dulu menjadikan Muhammad sebagai bagian dari lingkaran kekuasaan, kini berbalik memusuhinya. Respon mereka keras: boikot sosial-ekonomi, penganiayaan terhadap pengikutnya, fitnah, hingga upaya pembunuhan.
Namun Rasulullah tidak goyah. Dengan iman yang teguh, beliau terus menyerukan Islam sebagai sistem yang membebaskan manusia dari perbudakan, penyembahan berhala, dan sekat-sekat suku. Islam, sebagaimana diwariskan dari ajaran para nabi sebelumnya; Ibrahim, Musa, dan Isa, mengajak manusia kepada kebenaran tunggal: tunduk hanya kepada Allah.
Prinsip yang Terus Hidup
Kisah ini memberi pelajaran penting: keberanian Rasulullah untuk meninggalkan sistem mapan yang tidak adil menjadi teladan bagi umat Islam sepanjang zaman. Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan juga seruan untuk menolak struktur kekuasaan yang menindas dan berseberangan dengan petunjuk Allah.
Dalam konteks modern, “resign dari parlemen” bisa dibaca sebagai sikap moral untuk tidak berkompromi dengan sistem yang merusak keadilan dan keberlangsungan hidup manusia. Rasulullah menunjukkan bahwa keberanian menolak status quo demi prinsip ilahi adalah inti dari perjuangan seorang mukmin.
Penutup
Perjalanan Rasulullah dari seorang Al-Amin di Darun Nadwah hingga menjadi Rasul yang memimpin umat dalam cahaya wahyu adalah transformasi besar. Keputusannya untuk “resign” dari parlemen Mekkah menandai awal babak baru dalam sejarah manusia: babak perjuangan menegakkan tauhid melawan hegemoni syirik.
Keputusan itu bukan sekadar langkah politik, melainkan pernyataan iman: bahwa kesetiaan sejati hanya pantas diberikan kepada Allah. Dari sini kita belajar, kejujuran dan reputasi pribadi saja tidak cukup bila tidak dibarengi dengan ketaatan kepada kebenaran. Rasulullah mengajarkan bahwa keberanian untuk menolak sistem yang bathil adalah fondasi dari kehidupan yang benar-benar berpihak pada keadilan.
Penulis: Abqurah