Di zaman modern ini, manusia semakin sibuk mengejar banyak hal: karier, popularitas, validasi sosial, hingga standar-standar kebahagiaan yang dibentuk oleh masyarakat. Sekilas terlihat maju, tapi ironisnya, banyak orang justru merasa kosong, tersesat, dan kehilangan arah. Inilah yang sering disebut sebagai krisis identitas.
Hari ini, kita lebih terkoneksi, lebih berpengetahuan, bahkan lebih mudah mencapai sesuatu. Namun, anehnya, justru lebih sering merasa hampa. Rutinitas berjalan begitu cepat: bangun pagi, bekerja, makan, hiburan, tidur, lalu ulang lagi. Semua sibuk, tapi tak semua tahu untuk apa sebenarnya kita hidup.
Di titik ini, muncul pertanyaan mendasar: siapa diri kita? untuk apa kita hidup? dan ke mana arah hidup kita?
Identitas kita pelan-pelan diambil alih oleh algoritma, tren, opini mayoritas, dan tekanan sosial. Kita tidak lagi menjadi diri sendiri, melainkan menjadi apa yang disukai banyak orang. Padahal, sejak awal manusia diciptakan dengan fitrah dan tujuan yang jelas. Tapi saat manusia mulai meninggalkan fitrahnya, mengikuti arus mayoritas, maka ia perlahan kehilangan jati dirinya.
Allah menegaskan tujuan itu dengan sangat jelas dalam firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Artinya, tujuan hidup kita bukan untuk sekadar memenuhi ekspektasi sosial atau mengejar standar palsu. Tujuan hidup kita adalah mengenal, mengabdi, dan kembali kepada Sang Pencipta. Namun manusia modern justru hidup dengan mentalitas ikut arus. Apa yang ramai dianggap benar, apa yang populer dianggap baik. Padahal Allah sudah memperingatkan:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…” (QS. Al-An’am [6]: 116)
Dari sinilah kita bisa memahami akar krisis identitas: manusia tidak lagi mengenal dirinya, karena tidak mengenal siapa yang Mencipta, dan untuk apa Ia Dciptakan. Kita tidak tahu tujuan hidup karena abai terhadap wahyu yang diturunkan untuk menuntun kita.
Krisis identitas tidak bisa diatasi hanya dengan motivasi kosong, hanya bisa sembuh jika kita kembali kepada tujuan hidup yang hakiki: menjadi hamba Allah, mengenal-Nya, dan hidup sesuai petunjuk-Nya, meski itu berarti melawan arus mayoritas.
Menjadi minoritas dalam ketaatan jauh lebih berharga daripada menjadi mayoritas dalam kesesatan. Identitas sejati manusia hanya bisa ditemukan ketika kita kembali kepada fitrah sebagai hamba. Seorang hamba hidup bukan untuk memenuhi selera publik, tapi untuk tunduk kepada Rabb-nya.
PENULIS: AMERTA