Beberapa individu tertentu merasakan tidak bisa ikut bahagia melihat orang lain bahagia; sebaliknya, mereka merasa terusik atau tertandingi. Mereka mencari cara untuk kebutuhan obsesif, bahkan dengan jalan yang tidak benar. Fenomena ini bukan sekadar sifat buruk biasa. Dalam psikologi disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD), dan dalam Al-Qur’an sifat ini sejak lama digambarkan sebagai kesombongan dan hawa nafsu yang menyesatkan.
Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah kondisi psikologis yang termasuk dalam Cluster B Personality Disorders menurut DSM-5. Orang yang mengalami NPD memiliki pola berpikir, perasaan, dan perilaku yang menetap, berbeda dari sekadar rasa percaya diri biasa. Dalam praktiknya, NPD menggabungkan elemen-elemen seperti grandiositas, kebutuhan akan pengakuan (admiration), kekurangan empati, dan kecenderungan memanfaatkan orang lain. Bila dibawa ke relasi sosial, hal-hal ini bisa menyebabkan konflik, hubungan yang tidak sehat, dan rasa sakit batin baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Salah satu penelitian terkini adalah ulasan “Narcissistic Personality Disorder: Progress in Understanding and Treatment” (2022) yang memaparkan kemajuan dalam memahami NPD selama dekade terakhir. Dalam ulasan ini disebutkan bahwa NPD bukan hanya tentang sifat “ingin terlihat hebat”, tetapi melibatkan regulasi harga-diri (self-esteem regulation), regulasi emosi, gaya kognitif tertentu, cara berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana empati (baik emosional maupun kognitif) bisa mengalami disfungsi.
Penelitian lain yang konkret adalah “Self- and informant-reported perspectives on symptoms of narcissistic personality disorder” oleh Cooper, Balsis, & Oltmanns (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara bagaimana seseorang dengan ciri NPD menilai dirinya sendiri, dan bagaimana orang lain melihatnya. Orang dengan ciri NPD sering tidak menyadari semua aspek narsistiknya, sementara orang di sekitar mereka (keluarga, teman) sering lebih mampu melihat ciri itu lebih jelas.
Hal demikian mengingatkan kita pada kisah Qarun sebagaimana pada Al-Qasas ayat 76-78, kisah Qarun menjadi contoh nyata yang mencerminkan beberapa ciri NPD. Qarun merasa kekayaannya adalah hasil usahanya sendiri, memamerkan hartanya, dan merendahkan orang lain. Dari sisi psikologis, hal tersebut bisa dilihat sebagai grandiositas (merasa sangat penting), kurang empati (tidak peduli kondisi orang lain), kebutuhan akan pengakuan (ingin dilihat kaya/berkuasa), dan sebuah distorsi dalam regulasi moral dan hubungan sosial.
Ketika sifat-sifat tersebut tidak diimbangi kesadaran diri atau refleksi, individu bisa jatuh ke dalam pola “ingin dilihat” atau “ingin tampil unggul” yang berlebihan. Dan menariknya, seperti penelitian Cooper et al., sering orang sendiri tidak menyadari seberapa dalam sifat-sifat ini memengaruhi hidupnya, karena mereka melihat sebagai hal yang wajar, bahkan seharusnya.
NPD bukan sekadar “ingin jadi pusat perhatian”, tetapi kondisi psikologis yang kompleks: gabungan antara keinginan exterior (untuk dilihat, diakui), defensif terhadap kritik, perbandingan sosial, dan distorsi dalam hubungan emosional dan moral. Al-Qur’an juga telah memperingatkan sifat-sifat ini sejak lama: kesombongan, angkuh, merendahkan orang lain, dan menganggap diri lebih tinggi. Kisah Qarun menjadi peringatan bahwa bila sifat tersebut dibiarkan tanpa refleksi, dia bisa menjadi pintu menuju kehancuran moral, sosial, spiritual.
Kesombongan dan rasa ingin selalu dipandang lebih unggul memang menjadi inti dari Narcissistic Personality Disorder. Dalam Al-Qur’an, Allah sudah menegaskan hal ini sejak lama. Firman-Nya dalam QS. Luqman (31:18):
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Ayat ini menjelaskan bahwa sikap (narsistik) merendahkan orang lain, mengejar pujian, dan membanggakan diri pada akhirnya tidak pernah membawa manfaat. Justru sebaliknya, merusak hubungan sosial, mengikis empati, dan menjerat seseorang dalam ilusi superioritas yang rapuh. Dari sudut pandang medis, inilah yang terlihat dalam NPD. Manusia selalu mencari pengakuan, entah lewat citra diri yang agung seperti pada NPD, atau lewat drama emosional seperti pada HPD. Dari satu sisi ke sisi lain, kita dapat melihat bahwa kepribadian bukanlah sesuatu yang statis, melainkan medan luas di mana kebutuhan dasar akan perhatian mengambil banyak bentuk. Setelah ini, mari kita melihat lebih dekat pada wajah emosional itu: HPD.
PENULIS: YAMA