Sebelumnya kita telah membahas mengenai Narcissistic Personality Disorder (NPD), sebuah gangguan kepribadian dengan inti rasa keagungan, kebutuhan pujian, dan sering kali kekurangan empati. Namun, Histrionic Personality Disorder (HPD) memiliki nuansa yang berbeda. NPD berfokus pada pencitraan diri yang superior, sedangkan HPD ditandai oleh kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian, perilaku dramatis, dan ekspresi emosi yang berlebihan. Perbedaannya halus, tetapi penting bahwa orang dengan NPD ingin dihormati karena keistimewaan mereka, sementara orang dengan HPD ingin disukai dan diperhatikan dengan cara dramatis.
HPD termasuk dalam Cluster B Personality Disorders yang dikenal sebagai kelompok gangguan kepribadian dramatis-emosional:
•Ketidaknyamanan ketika tidak menjadi pusat perhatian.
•Emosi yang cepat berubah.
•Menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian.
•Cara bicara dramatis dan impresif, tetapi kurang detail.
•Mudah dipengaruhi orang lain dan sering menganggap hubungan lebih intim atau dekat dari kenyataannya.
Prevalensi HPD relatif rendah dalam studi populasi. Sebuah meta-analisis global menemukan bahwa prevalensi Cluster B Personality Disorders memang ada, namun HPD termasuk yang paling jarang. Walau jarang, dampak HPD signifikan pada hubungan sosial, aktivitas, hingga kesehatan mental penderita dan orang di sekitarnya (von der Heiden et al., 2023).
Tidak ada penyebab tunggal. Studi modern menekankan interaksi antara faktor biologis (misalnya temperamen), faktor psikologis (attachment, pola asuh, trauma), serta faktor sosial-budaya (misalnya tekanan media sosial). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan sosial untuk diterima (need for approval) sangat terkait dengan perilaku histrionik, khususnya dalam penggunaan media sosial (Venaglia et al., 2019).
Studi lain menemukan hubungan antara pengalaman traumatis (misalnya pelecehan seksual) dengan munculnya ciri kognitif histrionik. Faktor-faktor ini membentuk pola kepribadian yang dramatis dan penuh ekspresi, seakan dunia luar menjadi cermin utama untuk menilai value dari diri seseorang. HPD sering disertai gangguan lain, seperti kecemasan, depresi, impulsivitas, hingga penyalahgunaan zat. Hal tersebut membuat diagnosis menjadi kompleks, karena beberapa gejalanya mirip dengan gangguan bipolar, borderline, bahkan narsistik. Perbedaan kunci ada pada stabilitas gejala: HPD adalah pola jangka panjang, bukan episodik.
Selama bertahun-tahun, HPD dianggap sulit diobati. Namun, riset baru memberi harapan (Babl, Gómez Penedo, Berger, Schneider, Sachse, & Kramer, 2023), Clarification-Oriented Psychotherapy (COP) terbukti efektif membantu pasien HPD memahami dan mengubah pola relasi mereka. Studi prospektif besar menemukan bahwa perubahan dalam hubungan terapeutik berkorelasi langsung dengan perbaikan gejala.
Psikoterapi individual dengan fokus pada regulasi emosi, keaslian hubungan, dan pemahaman pola interpersonal kini menjadi strategi utama. Obat bukanlah terapi utama, kecuali untuk gejala komorbid seperti kecemasan atau depresi.
Kecenderungan HPD untuk mengejar perhatian dan validasi dengam cara yang buruk dari eksternal ternyata memiliki cerminan dalam firman-Nya, seperti:
• Matius 23:5 menggambarkan orang Farisi yang beribadah bukan untuk Allah, melainkan agar dilihat orang. Hal tersebut menjadi paralel dengan sifat HPD: haus pengakuan, bukan ketulusan.
• 1 Petrus 3:3-4 mengingatkan bahwa nilai sejati tidak terletak pada perhiasan lahiriah, melainkan pada manusia batiniah dengan ruh yang lemah lembut ( berbuat baik). Firman tersebut juga menegaskan kontras dengan pola HPD yang terlalu menekankan penampilan.
• Al-Qur’an Surah Al-Hadid (57:20) menyatakan bahwa dunia hanyalah permainan, perhiasan, dan kesenangan yang menipu, hal tersebut juga mengingatkan bahwa perhatian dan validasi duniawi yang buruk bersifat sementara, bukan esensi kehidupan.
Dengan membaca ayat-ayat ini tersebut, kita belajar bahwa kebutuhan akan pengakuan yang berlebihan adalah jebakan psikologis sekaligus spiritual. Firman memberi arah, yaitu identitas manusia tidak boleh hanya dibangun dari perhatian orang lain, melainkan dari ketulusan sikap dan pikiran serta orientasi pada nilai kekal.
HPD adalah gambaran bagaimana manusia bisa terjebak dalam pencarian perhatian tanpa henti. Dari sisi medis, HPD adalah gangguan kepribadian dengan akar biologis, psikologis, dan sosial. Dari sisi spiritual, HPD adalah cermin dari kecenderungan manusia untuk terlalu melekat pada dunia dan validasi dengan cara yang buruk untuk eksternal. Pemulihan membutuhkan kombinasi yaitu terapi klinis yang teruji dan pemahaman nilai ruhani yang membebaskan.
HPD menyingkap tentang pencarian perhatian yang berlebihan, maka topik selanjutnya akan membawa kita ke sisi lain dari spektrum emosi manusia, yaitu anxiety, sebuah kondisi ketika perhatian justru tertuju pada kekhawatiran berlebihan terhadap diri dan masa depan.
PENULIS: ANGKASA
Daftar Pustaka
Babl, A., Gómez Penedo, J. M., Berger, T., Schneider, N., Sachse, R., & Kramer, U. (2023). Change processes in psychotherapy for patients presenting with histrionic personality disorder. Clinical Psychology & Psychotherapy, 30(1), 64–72.
Torrico, T. J., French, J. H., Aslam, S. P., & Shrestha, S. (2024). Histrionic Personality Disorder. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Fokkema, M., et al. (2020). The prevalence of personality disorders in the community: a global systematic review and meta-analysis. The British Journal of Psychiatry, 216(2), 69–78.
Yalch, M. M., Mehta, A., Watters, K. N., Dawood, S., & Schroder, H. S. (2023). Relative Effects of Sexual Assault and Temperament Traits on Cognitive Characteristics of Histrionic Personality Disorder. Violence and Victims, 38(2), 203–212.
Venaglia, R., et al. (2019). Histrionic Personality, Need for Social Approval, and Social Media Use. Springer.