Pohon adalah salah satu makhluk hidup yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan di bumi. Keberadaan pohon tidak hanya memperindah lingkungan dengan hijaunya, tetapi juga memiliki fungsi ekologis yang sangat penting yaitu menghasilkan oksigen yang kita butuhkan, menyerap karbon dioksida yang mencemari udara, serta memperkuat tanah dari risiko longsor dan erosi. Tanpa pohon, keseimbangan alam akan terganggu, bahkan kehidupan manusia dan makhluk lain pun bisa terancam.
Menariknya, kitab-kitab suci seperti Taurat, Injil, dan Al-Qur’an tidak hanya memandang pohon sebagai makhluk fisik semata. Pohon seringkali dijadikan simbol atau perumpamaan untuk menggambarkan kualitas batiniah manusia, khususnya terkait keimanan dan moralitas. Mengapa pohon digunakan sebagai perumpamaan? Karena sebuah pohon bertumbuh berdasarkan apa yang tidak terlihat: yaitu akar. Akar menyerap nutrisi, menopang kekuatan batang, dan menentukan apakah pohon itu dapat bertahan dari angin dan musim.
Akar mewakili landasan dalam hal ini, sesuatu yang mendasari pertumbuhan keseluruhan struktur pohon. Dalam konteks manusia, akar melambangkan aqidah/dasar pemikiran. Jika aqidah seseorang kuat, maka seluruh kehidupannya, termasuk perbuatan dan sikapnya, akan mencerminkan kekokohan itu. Sebaliknya, jika aqidah rapuh, maka tidak peduli sebaik apapun penampilan luarnya, pada akhirnya karakter dan tindakannya akan bertindak sebaliknya.
Al-Qur’an mengabadikan perumpamaan ini dalam Surah Ibrahim ayat 24–25, Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24–25)
Artinya, keimanan yang kuat akan melahirkan perbuatan baik secara konsisten, seperti pohon yang terus menghasilkan oksigen, tidak bergantung pada musim dan situasi.
Dalam Injil Matius 7:17–20 juga ditegaskan hal yang serupa:
“Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Pohon yang baik tidak dapat menghasilkan buah yang tidak baik, begitu juga pohon yang tidak baik tidak dapat menghasilkan buah yang baik.”
Artinya, iman dan perbuatan itu saling terkait erat. Tidak mungkin seseorang yang beriman dengan benar menghasilkan perilaku yang rusak, sebagaimana tidak mungkin pohon sehat berbuah buruk.
Kitab-kitab suci tersebut sepakat bahwa orang-orang beriman digambarkan seperti “tanaman pilihan,” yang ditanam langsung oleh Allah sendiri. Mereka dipelihara, diberi asupan nilai nilai kebenaran, dan diuji melalui berbagai musim kehidupan. Maka hal tersebut jelas: iman itu bukan hasil instan, tapi tumbuh melalui proses panjang, dirawat, diuji, dan diperkuat.
Seperti pohon yang perlu disiram, dipangkas, dan dijaga dari hama, manusia juga perlu terus memelihara keimanannya. Tanpa perawatan, yaitu tanpa menambah ilmu, menjaga akhlak, memperbaiki perbuatan dan pemikiran, maka iman bisa kering, bahkan mati. Hal tersebut sejalan dengan kenyataan di zaman sekarang, di mana banyak yang mengaku beriman, namun aqidah jauh dari tuntunan ilahi. Mereka membiarkan “pohon” diri mereka kering karena lalai merawat aqidahnya.
Oleh sebab itu, kita diingatkan untuk menjadi layaknya pohon yang akarnya menghujam kuat ke dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Kita harus kokoh menghadapi badai ujian, tetap menghasilkan buah dalam berbagai kondisi, dan selalu menyadari bahwa kekuatan sejati bukan pada apa yang tampak di permukaan, tetapi pada apa yang tersembunyi di dalam diri: keyakinan, prinsip, dan nilai yang benar.
Jika kita renungkan, mengapa akar diibaratkan sebagai aqidah? Karena akar adalah bagian terdalam dari pohon, tersembunyi namun menentukan seluruh kehidupan pohon itu. Akar menyerap air dan nutrisi dari tanah, menjadi sumber kekuatan agar pohon tetap hidup dan tumbuh. Aqidah berfungsi serupa: ia adalah keyakinan paling mendasar yang memengaruhi seluruh sikap, perilaku, dan keputusan seseorang. Tanpa akar yang sehat, pohon tidak mungkin bertahan menghadapi kekeringan atau badai. Begitu pula manusia; tanpa aqidah yang benar dan kokoh, ia mudah terombang-ambing oleh tekanan zaman, godaan teknologi, atau perubahan sosial. Namun, bukan sekadar simbolisme, melainkan kenyataan empiris yaitu nilai yang dipegang seseorang berbanding lurus dengan stabilitas dan arah hidupnya.
Maka, pertanyaannya adalah..sudahkah fondasi keyakinan kita cukup dalam untuk menopang seluruh konsekuensi pilihan hidup kita hari ini?
Penulis: Angkasa