Setiap Juni, saat selebritas berusaha mempromosikan pride month, dunia sebenarnya menyoroti satu isu yang kerap diselimuti diam: kesehatan mental pria. Bulan Juni diperingati sebagai bulan kesehatan mental pria.
Ya, kita bicara tentangmu, laki-laki yang diajari untuk tahan banting, untuk “jangan nangis”, untuk simpan semuanya sendiri. Tapi bukankah tubuh dan jiwamu juga ciptaan yang layak dijaga?
Pria dan Beban Sunyi
Statistik global menunjukkan bahwa pria jauh lebih kecil kemungkinannya mencari bantuan saat sedang terpuruk. Namun angka bunuh diri dan krisis mental di kalangan pria justru terus meningkat. Kenapa?
Karena banyak pria dibesarkan dengan kalimat-kalimat seperti:
“Laki-laki harus kuat.”
“Masalah disimpan sendiri.”
“Curhat itu kelemahan.”
Padahal bahkan para nabi dan tokoh suci pun menangis, merasa lelah, bahkan memohon pertolongan dalam kesendirian. Nabi Ayub (Ayyub) mengadukan kesakitannya. Nabi Daud (Dawud) bersyair dalam duka. Bahkan Nabi Isa (Yesus) berdoa dalam ketakutan sebelum ditangkap. Lalu mengapa kamu tidak boleh merasa?
“Kami benar-benar menciptakan manusia dalam susah payah.”
(QS Al-Balad: 4)
“Segala sesuatu ada waktunya… Ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk menangis.”
(Pengkhotbah 3:4)
Kesehatan Mental adalah Amanah
Tubuhmu, termasuk jiwamu, adalah amanah. Dalam pandangan kitab suci, manusia diciptakan bukan untuk menanggung dunia sendirian. Bahkan Musa, nabi besar, merasa tak sanggup berjalan sendiri dan Allah mengangkat Harun sebagai pendampingnya.
Kita butuh ruang untuk bersandar. Kita butuh suara untuk bicara.
“Jangan kamu celakai dirimu sendiri.”
📖 QS 4:29 berkata:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Kalimat ini bisa saja ditutup dengan ancaman. Secara logika hukum, ayat ini adalah larangan tegas dan Al-Qur’an sangat mampu untuk mengingatkan konsekuensi dosa besar. Tapi tidak.
Secara linguistik, struktur ayat ini meletakkan kasih sayang di posisi akhir sebagai penutup yang melembutkan segalanya. Dalam bahasa Arab, penutup seperti ini disebut khatimah jamīlah, penutup yang indah dan mengundang rasa tenang.
Ini larangan. Serius.
Tapi lihat bagaimana ia diakhiri:
bukan dengan ancaman,
melainkan dengan pengakuan kasih.
Allah tidak berkata: “Itu dosa.”
Tidak juga: “Kamu akan dihukum.”
Tapi Ia memilih berkata:
“Aku penyayang terhadapmu.”
Seolah ingin berkata:
Aku tahu kamu sedang lelah, bukan sesat.
Bahwa di momen manusia ingin mengakhiri hidup,
Allah bicara tentang kasih.
Mulailah dari Hal Kecil
• Akui rasa lelahmu, itu bukan dosa.
• Luangkan waktu untuk istirahat dan hening.
• Cari teman bicara, atau minta tolong tanpa malu.
• Kembali ke spiritualitasmu, bukan untuk lari, tapi untuk kembali berakar.
Karena Lelaki pun Makhluk Jiwa
Kesehatan mental bukan urusan perempuan saja. Laki-laki pun menangis dalam diam, goyah dalam senyap. Tapi kita bisa memilih: untuk sembuh, bukan sembunyi.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan dalam diri mereka sendiri.”
(QS Ar-Ra’d: 11)
Jaga dirimu, Bro. Bicaralah. Pulanglah ke dalam dirimu. Tuhan tak pernah menjauh dari yang remuk, justru dekat dengan jiwa yang patah.
Penulis: Abqurah