Puasa Sebagai Infrastruktur Ruhani
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah 183)
Teodisi.com : Perjalanan hidup manusia merupakan pertarungan antara akal dan nafsu tentang siapa yang akan menjadi penunggang dan yang ditunggangi di antara keduanya.
Hakekat menahan adalah menjadikan akal sebagai penunggang untuk mengendalikan hawa nafsu yang liar. Karena puasa berarti menahan pikiran, menahan tutur kata, menahan prilaku, menahan diri dari kebiasaan buruk dan membiasakan diri dengan kebiasaan baik.
Sehingga ultimate goal atau tujuan utama dari perintah menahan dapat tercapai yaitu mengubah karakter yang nantinya akan mengubah nasib kita.
Menjadi orang yang selamat atau celaka, menjadi orang yang beruntung atau merugi, mejadi orang takwa ataukah fujur, menjadi manusia yang ”menuhan” ataukah “membinatang”. Tidak akan berubah nasib kita, kecuali kita sendiri yang merubahnya (Ar-Ra’d ayat 11). Kata Dr. Sabara Nuruddin (Peneliti Balitbang Agama Makassar).
Salah satu perintah wajib khususnya yang tertera pada rukun Islam adalah puasa, yang diyakini oleh mayoritas ummat islam di dunia. Jika mencermati surah (Al-Baqarah 183) bahwa yang diwajibkan untuk berpuasa adalah orang yang beriman.
Baca Juga : Apakah musyrik itu ?
Pertanyaannya, orang-orang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut apakah otomatis orang Islam itu sendiri, ataukah terbuka kemungkinan lain di luar umat Islam?.
Di sisi lain pada surah (Yunus ayat 100), dikatakan bahwa ‘’tidak beriman seseorang kecuali dengan izin Allah’’.
Dari perspektif Yunus ayat 100, dapat disimpulkan bahwa ada syarat dan prasyarat yang harus dipenuhi sebelum kita melaksanakan kewajiban puasa, sebagaimana yang diperintahkan bagi orang beriman tersebut.
Penting untuk dicermati dalam hal kita menjalankan perintah Allah dan Rasulnya. Meskipun itu wajib terlebih dahulu kita harus memposisikan diri, apakah kita menjadi objek perintah tersebut ataukah kita hanya “merasa“ diperintahkan. Sehingga mengabaikan ketentuan yang harus dipenuhi.
Dalam ayat lain dikatakan “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan qalbu (bolak-balik), semuanya itu akan diminta pertanggun jawabannya” (Al-Isra 36). Ayat ini berusaha mengaktifkan nalar kritis kita agar dalam melaksanakan sesuatu (termasuk puasa) harus didasari ilmu ataupun pengetahuan yang memadai.
Mengabdi kepada Allah jangan hanya disandarkan pada persangkaan dan sekedar ikut-ikutan belaka, seperti yang digambarkan (surah Al-Isra diatas) tanpa kejelasan yang pasti.
Apatah lagi hanya mengikuti kebanyakan orang (termasuk ikut-ikutan berpuasa) hanya karena jumlah mereka lebih besar. ’’Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta’’. (Al-An’am 116). Untuk itu berpuasalah dengan pengetahuan dan kesadaran tidak sekedar ikut-ikutan.
Puasa (shaum) berarti menahan diri (abstaining). Dimaksudkan agar kita melatih diri untuk melawan hawa nafsu (seks birahi) lapar dan dahaga, maupun menahan diri dari sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya.
Kita tidak dapat mengendalikan berbagai kondisi emosional yang timbul akibat hormon dari dalam tubuh kita. Kita hanya bisa mengendalikan perilaku kita dan cara mengendalikannya, salah satunya dengan ritual puasa. (Wade & Tavis, 2007).
Puasa Berbagai Tafsir :
Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa pada bulan Ramadhan.
Dari muadz, Ibnu Mas`ud, mengatakan bahwa puasa ini senantiasa disyariatkan sejak zaman Nuh (bahkan hemat penulis, sejak dari Adam) hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadhan.
Buya Hamka menjelaskan puasa adalah upaya pengendalian diri seorang hamba terhadap dua syahwat dirinya. Syahwat seks dan syahwat perut yang bertujuan untuk mendidik kemauan dan dapat mengekang nafsu. Keberhasilan pengendalian diri tersebut akan mengangkat derajat manusia di mata Allah.
Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?
Meskipun tidak ada ketentuan dalam Taurat, Zabur dan Injil tentang peraturan waktu dan bilangan dalam berpuasa, Nabi Musa pernah berpuasa selama 40 hari.
Selanjutnya diikuti oleh kaum yahudi dengan tetap mengerjakan puasa. Seperti puasa selama seminggu untuk mengenang kehancuran Jerusalem dan mengambilnya kembali. Puasa hari kesepuluh pada bulan tujuh menurut perhitungan mereka dan berpuasa sampai malam. (Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar 2015).
Akrab di telinga kita bahwa puasa adalah bulan penuh berkah, bulan (Ramadhan) dimana diturunkannya Al-Quran, sebagaimana yang tertera pada surah (Al-Baqarah 185).
Istilah bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Apakah keberkahan yang dimaksud berlaku sepanjang zaman? Ataukah hanya pada periode tertentu? Wallahu a’lam bish-shawab
Perangkat Perbaikan Ruhani
Puasa kita jadikan sebagai alat, infrastuktur perjuangan dalam mengarungi lautan kehidupan yang syarat akan hal materi yang membutakan. Sebagaimana Allah akan menguji kita dengan hal yang bersifat materi.’’Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar’’.(Al-Baqarah 155)
Allah kembali menegaskan ujiannya kepada manusia dalam surah (Ali-Imran 14).
’’Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik’’.
Menyadari posisi kita selaku seorang hamba, sehingga puasa dimungkinkan untuk merenungi makna kita selaku makhluk terbatas. Terbatas dalam menakar Dia yang maha tak terbatas.
Untuk itu berpuasalah dengan tak sekedar menahan, tapi berpuasalah dengan “menuhan”, agar kita menahun “dalam” Tuhan. Kata Dr. Sabara Nuruddin .
Lebih lanjut Dr. Sabara mengatakan, Ramadhan mentraining dan menggembleng jiwa ruhaniyah kita untuk lebih mudah dan terbiasa dalam melakukan aktivitas pengabdian kepada-Nya.
Ramadhan menyadarkan kita bahwa semua aktivitas yang berorientsi positif adalah ibadah. Sehingga hari-hari yang kita lalui di 11 bulan berikutnya tak lepas dari visi dan orientasi pengabdian kepada Sang Pencipta.
Baca Juga : Islam Bukan Agama
Mengutip Sayyidina Ali, Perhatikan pikiranmu karena akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu karena akan menjadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu karena akan menjadi karaktermu dan perhatikan karaktermu karena akan menjadi nasibmu. Untuk itu biasakanlah puasa di dalam dirimu agar menjadi karakter yang akan menentukan nasibmu di hadapan Sang Khalik.
Orang yang beriman akan terlihat manakala dia siap menerima perintah dari Tuhannya (termasuk puasa) tanpa memandang berat atau ringannya perintah tersebut. Dan hal itu dinyatakan sebagai wujud kepatuhan, kecintaan dan bukti keimanan.
Puasa dimungkinkan memberikan jalan bagi yang melaksanakan agar selamat dari kehancuran dari masa kering dan panas (Ramadhan; ramida). Kering dan panas dalam menghadapi berbagai permasalahan dunia yang menggoda dan menahannya hanya karena Allah. Sehingga semua permasalahan kehidupan terselesaikan dan segala persoalan terjawabkan.
Andi Zulfitriadi (Founder Teodisi)