SEJARAH DAKWAH RASULULLAH MUHAMMAD
(DARI MAKKIYAH HINGGA MADANIYAH)
Mekah sejak zaman dahulu terletak di garis sutra perdagangan antara Yaman (Arabia Selatan) dan Syam dekat lautan tengah. Kedua peradaban ini telah mencapai peradaban yang tinggi dan dihubungkan oleh beberapa negeri kecil antara lain Mekah. Dari segi geografis, kota Mekah hampir berada di tengah-tengah jazirah Arabia. Oleh karena itu, kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru tidaklah mengalami kesulitan mencapai kota Mekah. Sebaliknya, penduduk kota Mekah juga tidak sulit berpergian ke negeri-negeri tetangganya seperti Syam, Hirah, dan Yaman. Tidaklah heran jika banyak warga kota Mekah yang berprofesi sebagai pedangang sukses.
Dari segi keagamaan, di kota Mekah terdapat rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka’bah, yang dimuliakan oleh masyarakat Mekah. Sejarah menulis, bahwa pembangunan Baitullah ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim bersama puteranya Ismail as. yang menikah dengan penduduk Mekah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman, dan terus menetap di kota ini turun temurun yang disebut Bani Ismail atau adnaniyyun. Ismail as. Menjadi pemimpin Mekah dan menangani Ka’bah selama hidupnya (Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, 1997: 15).
Baca Juga : Apa itu Musyrik ?
Demikianlah kehidupan sosial politik dan keagamaan Arab umumnya. Dalam praktek-praktek ibadah juga berlangsung secara tertib dan sudah menjadi praktek-praktek ibadah (khususnya ibadah ritual) dan mentradisi secara turun-temurun kepada keturunan Ismail hingga era Nabi Muhammad. Misalnya, setiap tahun pada bulan-bulan haji bangsa Arab dari segala penjuru datang berkunjung ke Mekah sebagai suatu kewajiban agama (ibadah haji). Tidak sedikit keuntungan ekonomis yang didapatkan penduduk Mekah dari praktek kewajiban agama tersebut. Kaum Quraisylah yang diberi kepercayaan oleh bangsa Arab untuk menjaga kesucian dan keamanan kota Mekah.
Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan peradaban bangsa Arab dan kota Mekah, muncullah berbagai macam agama dan suku-suku di jazirah Arab. Agama-agama tersebut sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, justru kondisinya jauh dari tuntunan syariat Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mareka tak terhitung jumlahnya, tradisi keagamaannya sudah bercampur dengan khurafat. Pemimpin-pemimpin politik dan agama sudah menjadi sesembahan (berhala) selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum menurut kehendak dan kepentingan mereka. Ambisi mereka hanya demi kepentingan kekayaan dan kedudukan (harta dan tahta) (Al-Mubarakfuri, 1999: 31-32).
Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?
Kehidupan Mekah sebelum kehadiran kenabian Muhammad adalah kehidupan yang musyrik dan tidak mengenal sistem hidup dan kehidupan yang benar dari Allah. Masyarakat bangsa Arab kala itu tumbuh dalam suasana pluralistik yang saling berpecah belah. Kondisi politik, agama dan kesukuan saat itu saling bermusuhan sehingga sering terjadi peperangan dan konflik yang berakibat pada keterpurukan segala dimensi kehidupan sosial masyarakat Mekah dan bangsa Arab pada umumnya. Inilah kondisi yang dihadapi oleh Muhammad bin Abdillah sebelum dipilih menjadi Utusan Allah. Setelah dipilih menjadi Nabi dan Rasul dari komunitas bangsanya yang ummi (Arab: non-Yahudi), Muhammad kemudian diajarkan wahyu oleh Allah berupa Al-Kitab (Undang-Undang Allah) yang ada pada alam semesta dan pada firman-Nya, dan ilmu hikmah (kepemimpinan) secara berangsur-angsur untuk satu visi utama, yakni memenangkan sistem Allah, Tuhan Semesta Alam (din al-haqq) dari segala sistem ideologi ciptaan penguasa bangsa-bangsa. Wahyu tersebut selanjutnya disampaikan dan diajarkan oleh beliau kepada bangsanya.
Sebelum mendapat wahyu, Muhammad bin Abdillah adalah seorang tokoh pemuda yang aktif dalam dunia ekonomi dan dunia politik praktis di Parlemen Mekah (Dāru an-Nadwah). Tujuannya sangatlah sederhana, agar beliau dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaganya di dalam ikut serta secara aktif mengatasi berbagai persoalan ummat dan bangsanya kala itu. Sebuah cita hidup yang sangat standar bagi setiap anak bangsa di manapun. Krisis multi dimensi yang melanda bangsanya dan realitas kehidupan dunia saat itulah yang mendorong Muhammad muda untuk berfikir keras dalam “membaca” situasi kehidupan diri, keluarga, dan bangsanya serta realita dunia secara umum. Namun, tidak banyak yang dapat diperbuat oleh Muhammad saat itu.
Baca Juga : Islam Bukan Agama ?
Bahkan sebelum beliau mendapat bimbingan wahyu, Allah menyebut dirinya dhâllan; orang yang bingung atau tersesat jalan, akibat jalan pengabdian yang dipilih olehnya –sebagai hasil dari dia “membaca”, adalah salah atau batil menurut Allah. Kemudian Dia memberikan petunjuk wahyu awal kepada Muhammad dengan memerintahkannya untuk “membaca” (iqra’; bacalah). Secara ilmu, kata “membaca”, tidaklah melulu bermakna membunyikan huruf atau tulisan, tetapi juga bermakna aktif melihat, menilai, dan mengamati serta mencari solusi terhadap problem realitas kehidupan sekitar kita juga disebut “membaca”. Demikianlah, nabi Muhammad kala itu tidak diperintah untuk membaca tulisan di atas media (kertas atau pelepah kurma), karena memang malaikat Jibril tidak pernah menyampaikan wahyu Allah dalam bahasa tulis (lā shawth wa lā harf; wahyu itu bukan berupa suara ataupun huruf).
Jika wahyu itu berbentuk huruf yang tertulis di atas media (seperti kertas, kulit binatang, pelepah kurma atau lempengan batu), tentulah Rasulullah tidak perlu menyuruh para sahabat untuk mencatatnya tetapi cukup mengarsipkannya saja dan arsip teologis-historis tersebut tentu saja akan tetap terjaga hingga kini. Begitupun jika wahyu itu berupa suara, tentu saja Khadijah (istri Rasulullah) atau para sahabat terdekat beliau yang senantiasa turut serta bersamanya, juga turut mendengarkan wahyu secara langsung saat diturunkan Allah kepadanya. Semua firman Allah di dalam Kitab Suci-Nya merupakan “bacaan” tentang akhlaq Allah, perilaku Allah atau sunnatullah.
Baca Juga : Apakah Anda Seorang Muslim
Berarti, jika seseorang memahami Al-Quran, maka dia dapat “mengenal” Allah, yakni mengetahui apa yang dicintai dan yang dimurkai oleh-Nya, apa yang diperintah dan apa pula yang dilarang oleh-Nya, apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan oleh-Nya, dan seterusnya. Karenanya, orang yang paling mengenal Allah adalah para Rasul-Nya. Apa yang dikatakan dan diperbuat oleh Rasulullah Muhammad adalah cerminan dari kehendak dan perbuatan Allah (wahyu) itu sendiri. Wajar jika beliau dijuluki sebagai Al-Quran yang berjalan. Bahkan dikatakan, akhlaq beliau adalah Al-Quran.
Iqra’ adalah kata perintah kepada Nabi Muhammad, tetapi tidak berarti bahwa perintah itu hanya untuk beliau semata. Kedudukan Muhammad SAW. di dalam mengaktualisasikan semua firman Allah adalah sebagai manusia “sampel; uswah” bagi semua manusia beriman di zamannya dan setelahnya, termasuk mereka di zaman ini. Tugas ummat adalah mengikuti sunnah Rasulullah di dalam menjalankan tugasnya untuk menzahirkan (memenangkan; menegakkan) din Allah, mengikuti visi dan misi risalahnya bukan mencontoh atribut keislaman dan kearaban beliau.
Baca Juga : Apakah Anda Hamba Allah Yang Sejati ?
Mengikuti risalah beliau dari sejak fase iqra’ pada kondisi makkiyah hingga fase al-yawma pada kondisi madaniyah; tegaknya Khilafah. Inilah yang seharusnya dinapaktilasi oleh mereka yang mengaku pengikut dan penerus risalah-Nya. Perjalanan risalah yang ditempuh oleh nabi Muhammad dari fase “iqra`” hingga “al-yawma” tersebut, secara global terbagi dalam tiga tahapan dasar, yakni tahap iman, hijrah dan jihad. Namun, secara lebih rinci perjalanan beliau dari awal kenabian hingga wafatnya beliau dapat dibagi dalam enam fase perjuangan. Tulisan berikutnya akan kami jelaskan secara singkat Enam (6) tahap/Fase Perjuangan Rasulullah Muhammad