Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: ‘’Kami telah beriman’’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang benar dan sesunguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. AL-Ankabut (29): 2-3)
Banyak orang yang selalu lalai dan lupa saat cobaan dan penderitaan hadir dalam kehidupannya, padahal itu semua adalah dari ujian dari Dia. Ironinya, banyak yang selalu berharap untuk dijauhkan dari cobaan dan penderitaan, padahal ‘’
UJIAN ADALAH WUJUD DAN PENGAKUAN ALLAH ATAS EKSISTENSI KEBERIMANAN SESEORANG’’, Hadapilah cobaan dan penderitaan itu dengan senyum bahagia, penuh ikhlas, sabar, dan tawakkal. Berbahagialah karena engkalulah penghuni dari
Kerajaan Allah.
Sahabatku…
Visi dari setiap Rasul Allah adalah tegaknya Din al-Haqq (Din al-Islam) ciptaan Allah dalam hidup dan kehidupan ummat manusia, sehingga akan tercipta sebuah tatanan kehidupan yeng setimbang, harmonis, penuh dengan kedamian dan kesejahteraan bagi semua makhluk di alam semesta (rahmatan lil alamin). Namun demikian, akar (dasar) dari sistem hukum universal yang benar itu (Din al-Haqq) adalah keimanan kepada sang pemilik sistem.
Seluruh Nabi dan Rasul Allah dalam setiap awal misi perjuangannya selalu mengajak bangsanya untuk kembali kepada kalimat tauhid, yakni la ilaha illa Allah; bahwa tidak ada ilah (tuan) yang pantas untuk ditaati kehendak dan perintahnya-Nya kecuali Allah, Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa lain, tidak ada tuan yang pantas dipertuankan kecuali Allah, Tuan Semesta Alam. Segala makhluk yang ada di alam semesta ini adalah hamba, dan Dia adalah Sang Tuan. Tidak boleh ada manusia di muka bumi ini menjadi tuan atau dipertuan oleh manusia lainnya, hanya karena memiliki kelebihan khusus, seperti kekuasaan, harta, dan pengetahuan. Kalimat tauhid inilah yang selalu menjadi akar tunggang dari aqidah setiap orang beriman atau komunitas orang-orang beriman.
Kesaksian akan ke-Maha Esa-an Allah ini pula yang menjadi dasar bagi setiap pikir, kata, dan laku orang-orang beriman dalam kehidupannya. Jika akar tauhid ini tercabut dari kesadaran iman manusia, maka manusia akan kembali kepada kehidupan syirik, yakni kehidupan yang ber-ilah atau menghambakan diri kepada tuan-tuan selain Dia. Manusia akan kembali dalam kehidupan yang tidak fitrah (najis), kehidupan yang melulu berpangkal pada hal-hal matrealis. Akibatnya, manusia akan berubah menjadi makhluk yang lebih hina dari binatang ternak, bahkan lebih kejam dari binatang buas. Kehidupan manusia akan dikuasai oleh nafsu serakah yang selalu berlindung di balik topeng-topeng politik, hukum, ekonomi, sosial, dan agama.
Inti dari keimanan seseorang kepada Allah, sang pencipta dan Pengatur Hidup dan kehidupan adalah kesadaran dari kesaksian dia akan ketauhidan Allah, bahwa ‘’ Tidak ada ilah yang patut untuk ditaati kehendak dan perintah-Nya selain Allah, Tuhan Semesta Alam’’ (la ilaha illa Allah). Kesadaran ini kemudian ini dipersaksikan secara lisan dalam satu kalimat tauhid, ‘’Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah; Asyhadu an la ilaha illa Allah’’.
Kesadaran dan kesaksian ini menjadi ikrar (perjanjian) yang telah mengeluarkan manusia dari kesadaran dan lingkungannya yang musyrik (najis) menuju satu kesadaran dan lingkungan spiritual yang baru, yakni kesadaran yang menafikan segala bentuk kepatuhan dan kecintaan pada isme-isme atau ideologi bangsa yang musyrik (nasionalis pluralis). Proses kembalinya seorang manusia kepada fitrahnya menjadi hamba Sang TUAN alam semesta disebut juga sebagai proses kelahiran manusia yang kedua, yakni kelahiran spiritual (ruh) sebagai kelanjutan dari kelahiran pertama secara biologis.
Kesadaran dan kesaksian akan kalimat, ‘’Saya bersaksi…’’ berarti orang tersebut telah menyaksikan dan menjadi saksi akan ‘’ Tidak ada ilah selain Allah’’. Seseorang tidak akan bisa bersaksi atau menjadi saksi manakala dia tidak mengetahui apa yang dipersaksikannya. Kalaupun dia bersaksi, maka saksinya adalah palsu atau dia menjadi saksi palsu.
Dia tidak mengetahui apa kehendak dan perintah Allah, tetapi dia berani bersaksi tentang Allah. Begitu pula, dia tidak mengetahui apa visi dan misi Muhammad sebagai Rasul Allah, tetapi dia berani berksaksi tentang Rasulullah Muhammad. Inilah perilaku iman orang-orang munafik atau orang-orang yang yang hanya merasa atau mengaku-aku telah beriman. Olehnya itu, tidak heran jika ucapannya berbeda dengan perbuatannya. Coba renungkan teguran Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 60:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Demikian pula dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 8-10:
8 Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. 9 Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. 10 Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
Dalam kehidupan sosial keagamaan kita, iman selalu dipahami sebagai sesuatu yang sudah diberikan sejak lahir dan menjadi sesuatu yang diwariskan secara turun temurun. Jika hal ini adalah kebenaran, tentu kita tidak akan mendengar fakta adanya anak seorang Rasul Allah yang tidak beriman atau seorang nabi dan Rasul Allah yang memiliki bapak dan isteri yang kafir musyrik. Iman bukan lah barang yang dapat diwariskan secara turun temurun. Iman kepada Allah juga bukan berarti sebatas percaya akan adanya Dia dan meyakini-Nya sebagai pencipta langit dan bumi. Iman itu bukanlah sebatas kepercayaan. Orang-orang kafir sekalipun percaya bahwa Allah itu pencipta langit dan bumi. Silakan perhatikan firman Allah dalam surat Mu’minun (23) ayat 84-89 berikut ini:
84 Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” 85 Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka Apakah kamu tidak ingat?” 86 Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” 87 Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka Apakah kamu tidak bertakwa?” 88 Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” 89Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Perhatikan pula surat Az-Zumar (39) ayat 38:
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaKu, Apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaKu, Apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.
Bahkan iblis sekalipun yang pernah berdialog dengan Allah tetap dikatakan orang yang kafir, Perhatikan, misalnya, dalam surat Al-A’raf (7) ayat 12-14:
12 Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah”. 13 Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang hina”. 14 Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”.
Tegasnya, percaya akan adanya Allah sebagai pencipta Alam semesta, belumlah cukup untuk dikatakan sebagai orang mu’min yang sejati. Sekali lagi, iman adalah kesadaran dan sikap spiritual seseorang akan apa yang diimaninya. Iman adalah komitmen kesetiaan seseorang akan ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, sebagai satu-satunya Pencipta, Pengatur, Penguasa, dan Pemimpin dirinya dalam kehidupan ini. Sehingga apa pun yang menjadi kehendak dan perintah Dia, siap untuk dilaksanakan olehnya, bahkan meski harus berkorban harta dan diri atau mengorbankan segala apa yang dicintainya. Inilah esensi iman yang diajarkan dan dicontohkan oleh semua Rasul Allah dalam Al-Quran. Sikap tunduk patuh (aslama) kepada Allah adalah buah keimanan sejati seorang mu’min. lalu apa hubungannya dengan renungan kali ini?
Sahabatku…
Mengangkat sumpah setia atau kesaksian akan Allah dan RasulNya sesungguhnya barulah sebuah awal dari keberimanan seseorang dan ia belum dapat disebut orang yang betul-betul telah beriman. Pernyataan sikap spiritual tersebut masih harus dibuktikan dalam perjalanan hidup dan kehidupannya. Wujud dari kecintaan dan kesetiaan seseorang yang telah bersaksi kepada Allah dan RasulNya masih harus dibuktikan lewat berbagai ujian keimanan. Hal inilah yang ditegaskan Allah dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 2-3 di bawah ini:
2 Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? 3 Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat di atas menegaskan, bahwa pertama, tidak seorangpun yang telah menyatakan keimanannya kepada Allah yang tidak akan menerima ujian dari-Nya. Ujian adalah sesuatu yang mutlak adanya bagi orang-orang beriman, karena ujian tersebut Allah akan menyaring kader-kader mu’min, mana dari mereka yang betul-betul menjadi kader sejati dan mana dari mereka yang hanya berdusta atau menjadi saksi palsu.
Kedua, bahwa ujian yang Allah berikan kepada mereka yang beriman adalah sesuatu yang sudah menjadi ‘’tradisi Allah’’ atas orang-orang beriman. Sejak zaman dahulu, Dia telah menguji semua orang yang mengaku beriman kepada-Nya. Allah akan menguji orang-orang beriman saat ini seperti Dia telah menguji orang-orang beriman sebelumnya. Dengan demikian, seluruh ujian yang telah diberikan kepada mereka yang beriman di zaman dahulu akan diberikan pula kepada mereka yang beriman pada zaman ini.
Hal ini logis, karena jalan Allah yang ditempuh oleh mereka yang beriman adalah jalan yang sama; shiratal mustaqim. Sehingga segala bentuk ujian dan penderitaan yang dahulu dialami oleh mereka yang berjalan pada jalan Allah, juga akan dialami oleh mereka yang berjalan pada jalan-Nyadi zaman ini. Ini sekaligus menjadi pertanda akan kebenaran iman mereka dan jalan yang ditempuhnya. Jika anda mengaku beriman dan berjalan pada jalan Allah, maka anda pasti akan mengalami segala bentuk ujian dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang beriman di zaman Rasulullah Musa, Isa dan Muhammad saw. Jika tidak, maka keberimanan dan jalan hidup Anda wajib dipertanyakan.
Mari renungi firman Allah yang lainnya dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 214 berikut ini:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.
Ayat ini mempertegas kembali betapa ujian keimanan itu adalah sesuatu yang mutlak adanya. Seorang Rasul Allah sekalipun, yang tidak diragukan keimanannya, tidak luput dari ujian-Nya. Ayat ini juga menggugurkan paham yang mengatakan, bahwa siapa pun yang telah bersyahadat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia dijamin masuk jannah Allah. Untuk dapat menjadi penghuni jannah tidak bisa hanya dengan ritus-ritus dan zikir semata, dibutuhkan pengorbanan yang jauh lebih besar dari sebatas demikian.
Mari perkuat iman sahabat dengan merenungi firman Allah dalam surat Ali Imran (3) ayat 142 berikut ini:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.
Renungi pula surat At-Tawbah (9) ayat 16:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kemudian, apa saja bentuk ujian yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman atau mereka yang berjalan pada Jalan Kebenaran Allah (shiratal mustaqim)? Tentu saja bentuk ujiannya adalah ujian atas keimanan mereka. Secara umum dapat kita bagi dalam dua kategori, pertama, ujian atas kesetian dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kedua, ujian atas visi-misi yang mereka emban dalam menegakkan din al-haqq (Din al-Islam) sebagai sistem hukum yang berlaku dalam kehidupan ummat manusia. Jadi, ujian itu bisa bersifat personal dan komunal. Mari kita renungi satu persatu.
Pertama, secara pribadi, setiap orang beriman adalah manusia biasa yang sama dengan manusia lainnya, yang memiliki rasa cinta atau syahwat (keinginan) terhadap kehidupan materiil. Sehingga seringkali hal-hal yang bersifat materiil ini menyebabkan orang beriman lalai dan tidak sabar dengan ujian yang diberikan oleh-Nya. Misalkan saja sifat kepemilikan akan sesuatu yang menjadikan manusia beriman lupa untuk mengeluarkan apa yang menjadi hak Allah. Setidaknya, hal-hal materiil yang seringkali menjadi batu ujian atau batu sanding bagi setiap orang beriman adalah apa yang disebut Allah dalam surat Ali-Imran (3) ayat 14:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Berbagai macam hiasan duniawi yang materiil tersebut adalah sesuatu yang dicintai oleh manusia secara fitrawi. Karena sifatnya yang fitrawi, maka hal-hal tersebut sering membuat orang beriman lalai akan peringatan dan ujian Allah. Hal yang senada Allah juga ingatkan dalam surat At-Taghabun (64) ayat 14-15 berikut ini:
14 Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 15 Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Ada banyak contoh yang Allah kisahkan dalam Alkitab dan Al-Quran tentang anggota keluarga lainnya karena berbeda aqidah. Bahkan jika sudah menyangkut urusan iman, dia mengizinkan seorang anak untuk ‘’durhaka’’ terhadap orang tuanya yang musyrik. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Ankabut (29) ayat 8 berikut ini:
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Perhatikan pula surat luqman (31) ayat (15):
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Jika dalam menjalani ujian keimanan tersebut anda lebih memilih setia dan cinta kepada hal-hal materiil di atas, termasuk lebih memetingkan kepentingan pribadi dan keluarga di banding kepentingan Allah dan Rasul-Nya, maka itu berarti anda tidak lulus dari ujian-Nya dan Anda kembali kepada habitat yang lama, menjadi manusia rendahan dan murahan. Kenapa demikian? Karena hanya lantaran urusan materil atau urusan pribadi yang nilainya sangat kecil di hadapan-Nya, Anda berani menduakan dan meninggalkan Dia, yakni melanggar apa yang diperintahkan oleh-Nya.
Kedua, jika mengkaji ayat-ayat Al-Quran, maka akan terlihat dengan jelas berbagai ujian keimanan yang Dia berikan kepada mereka (komunitas atau ummat) yang berjalan pada Jalan Keberanan-Nya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kisah para Nabi dan Rasul Allah, termasuk kisah Rasulullah Muhammad dan pengikutnya yang menjalani ujian hingga akhirnya Dia memberi kepada mereka anugerah yang sangat besar (ajran adziman), yakni Khilafah fil Ardh (kekuasaan di muka bumi).
Setiap Nabi dan Rasul Allah selalu mengawali misinya dengan melakukan dakwah, yakni mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya menjadi hamba Allah, menjadi manusia merdeka, bukan budak dari hawa nafsunya atau budak dari orang lain. Tugas ini wajib dilaksanakan, apa pun yang menjadi resikonya. Perintah tersebut Allah tegaskan dalam surat Al-Maidah (5) ayat 67:
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Begitu pula dalam surat An-Nahl (16) ayat 36:
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Sebagai hasil dari dakwah para rasul Allah, maka terbentuklah dua komunitas besar ummat manusia, yakni komunitas orang-orang beriman (orang-orang yang membenarkan apa yang disampaikan oleh para Rasul Allah tentang firman-Nya) dan komunitas kafir-musyrik (orang yang menolak dan menentang misi risalah yang disampaikannya). Tentu saja hal ini menjadi batu ujian bagi para rasul bagi para Rasul dan orang-orang beriman, karena pada umumnya semua penguasa dan mayoritas penduduk bangsanya menolak dakwah mereka.
Bahkan ujung dari periode perjuangan dakwah para Rasul Allah dan orang-orang beriman adalah hijrah (eksodus), terusir dari kampung halamannya menuju negeri (daerah) yang siap menerima misi risalah Allah ditegakkan. Hijrah adalah ujian puncak dari fase keberimanan komunitas orang-orang beriman. Jika mereka berhasil melaksanakan hijrah demi mempertahankan keimanan mereka, barulah Allah memanggil mereka dengan sebutan ‘’orang-orang yang telah beriman’’. Hijrah adalah jalan damai yang harus ditempuh oleh para Rasul dan ummatnya, karena mereka tidak ingin bentrok dengan kelompok mainstream dan penguasa. Mereka lebih baik keluar dari negerinya daripada mereka harus kembali beriman kepada ideologi bangsanya yang musyrik.
Hal ini sudah menjadi tradisi yang berlaku bagi mereka yang berjalan pada Jalan Allah (Sunnatullah), sunnah bagi para Nabi dan Rasul-Nya. Semua Rasul Allah menjalani ujian hijrah tersebut seperti dikisahkan dalam Alkitab dan Al-Quran dengan bahasa yang indah. Perhatikan firman Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 13-14 berikut ini:
13 Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu, 14 Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku”.
Perhatikan pula surat An-Nahl (16) ayat 41-42:
41 dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, 42 (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.
Bagaimanapun, bumi Allah ini amatlah luas untuk didiami dan dimakmurkan, sehingga tidak ada alas an bagi orang-orang beriman untuk tidak menjalani ujian iman tersebut (hijrah). Bagi mereka yang tidak lulus dalam ujian hijrah, maka neraka jahannam akan menjadi tempat mereka. Demikian yang Allah tegaskan dalam surat An-Nisa (4) ayat 97-98 di bawah ini:
97 Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : “Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, 98 Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),
Dalam menjalani proses hijrah tersebut, tentu saja orang-orang beriman mengalami banyak hal, karena banyak dari mereka harus meninggalkan keluarga dan harta bendanya, sehingga praktis mereka mengalami krisis finansial. Hal inilah yang juga diisyaratkan Allah dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah (2) ayat 155-156:
155 Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. 156 (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Sahabatku…
Setelah menjalani proses ujian hijrah tersebut, maka ujian berikut yang harus dijalani oleh mereka berjalan di Jalan-Nya adalah fase jihad, yakni tahapan ujian keimanan dalam bentuk berperang melawan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Namun, peperangan yang diizinkan dan diwajibkan oleh-Nya bukanlah peperangan atas dasar emosional atau balas dendam, tetapi dalam rangka membela atau mempertahankan diri dan iman mereka dari serbuan musuh-musuh Allah. Orang-orang beriman tidak akan berperang manakala mereka tidak diserang atau diperangi.
Hewan sekalipun jika sudah mereasa terancam, maka dia akan bangkit melawan serangan lawannya dengan ‘’senjata’’ yang dimilikinya, terlebih halnya orang-orang beriman. Jihad ini sekaligus menjadi amal saleh bagi mereka dan menjadi syarat untuk mendapatkan ajran (ganjaran; bukan pahala) dari-Nya. Adapun kemenangan demi kemenangan yang diperoleh oleh orang-orang beriman adalah wujud dari pertolongan Allah. Hal ini pula yang menjadi keyakinan dan berita gembira bagi pejuang-pejuang mu’min. Dalam hal ini, silakan renungkan firman Allah dalam surat Al-Mujadilah (58) ayat 21-22 berikut:
21 Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa 22 Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung (menang).
Demikian pula jihad sebagai ujian dari Allah dapat dilihat dalam surat At-Tawbah (9) ayat 24:
Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Dapat disimpulkan, dalam perjalanan perjuangan para Rasul
Allah dan ummat beriman dari fase dakwah, hijrah (eksodus), dan jihad di Jalan-Nya, hingga mencapai kemenangan dan mendapat anugerah Khilafah dari Allah adalah perjalanan ‘’ujian’’ dari-Nya. Ujian demi ujian bagi orang-orang beriman adalah cara atau metode Allah dalam membentuk karakter pribadi dan ummat yang betul-betul siap untuk menjadi ‘’penguasa dunia’’ khilafah fil ardh.
Akhirnya, jika sahabat adalah benar orang beriman, maka jangan pernah lari dari ujian Allah. Berbahagialah jika ujian Dia masih menyertai kehidupan Anda, masih menemani perjuangan Anda, karena itu adalah tanda cinta dari-Nya. Jadikan ujian dari-Nya sebagai sahabat terindah dalam hidup dan kehidupan Anda. Dan untuk dapat berhasil menjalani semua ujian-Nya, Anda harus selalu dalam keadaan zikir (sadar akan Dia), sabar dan tawakkal.