Kritik Demokrasi: Pemilu Mempersatukan atau Memecah
Belah?
Teodisi.com : Dalam perjalanan
sejarah peradaban manusia, telah banyak sistem yang diberlakukan. Mulai sistem yang
mengatur pola hubungan manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan alam semesta
serta manusia dengan Allah.
Rekaman sejarah
menjelaskan tentang daur perjalanan masing-masing sistem, mulai sistem yang
diperkenalkan oleh para Nabi dan Rasul Allah maupun sistem yang diajarkan oleh
manusia berkarakter Iblis.
Siklus pergiliran
sistem politik pemerintahan di dunia, secara garis besar digambarkan dalam
teori Siklus Polybius; Sistem
monarki, tirani-aristokrasi, oligarki, demokrasi dan oklokrasi. Pola pergiliran
sistem tersebut sudah berjalan semenjak dahulu kala. Dan dianggap masih relevan
hingga hari ini.
Definisi dan Asal
Usul Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demokratia atau kekuasaan rakyat, yang
terbentuk dari kata demos yang
berarti rakyat dan kratos yang berarti
kekuatan atau kekuasaan. Digunakan untuk menyebut sistem politik negara-kota
Yunani kala itu.
Demokratia
merupakan
antonim dari aristocratie (aristokrasi;
kekuasaan elit). Istilah demokrasi mulai berkembang pada pertengahan abad ke 5
SM. Kelahiran
demokrasi dilandasi oleh pengalaman buruk negara-kota di Yunani yang sering
mengalami peralihan sistem. Dari monarki ke aristokrasi dan aristokrasi ke
tirani.
Baca Juga : Apakah Musyrik Itu ?
Keadaan yang
demikian membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem
ideal kenegaraan untuk bangsanya. Sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi.
(Abdillah, 1999: 7)
Menurut Ubaedillah
dan Rozak (2008: 36) demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang berada di
tangan rakyat dalam pengertian tiga hal utama, yaitu pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people),
dan pemerintahan untuk rakyat (government
for the people).
Demokrasi merupakan
bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara, dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Berbagai Varian
Sistem Demokrasi
Koesnardi (1988:
167) menyatakan bahwa konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi
yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan. Walaupun pada tataran
implementasinya, terjadi perbedaan antara negara yang satu dan lainnya.
Karena muncul
berbagai varian implementasi demokrasi, maka di dalam beberapa literatur
kenegaraan dikenal beberapa istilah; Demokrasi konstitusional, parlementer,
terpimpin, pancasila. Demokrasi islam,
rakyat, serta demokrasi nasional dan lain sebagainya.
Elemen-Elemen
Demokrasi
Sementara itu, Gaffar
(2005:15) demokrasi sebagai suatu gagasan politik yang mengandung beberapa
elemen diantaranya: Pertama,
Penyelenggaraan kekuasaan berasal dari rakyat. Kedua, Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuhnya. Ketiga, diwujudkan secara langsung
maupun tidak langsung.
Baca Juga : Ujian itu Sahabat Orang Beriman
Keempat, rotasi
kekuasaan dari seseorang atau sekelompok orang. Dalam demokrasi, peluang terjadinya
rotasi harus ada. Dilakukan secara teratur dan damai. Kelima, adanya proses pemilu
dalam negara demokratis, dilakukan secara teratur dalam menjamin hak politik rakyat
untuk memilih dan dipilih.
Keenam, adanya
kebebasan sebagai HAM, menikmati hak-hak dasar. Dalam demokrasi setiap warga
masyarakat dapat menikmati hak-hak dasarnya secara bebas, seperti hak untuk
menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Gamblangnya,
dalam sistem pemerintahan sekuler-demokrasi, kedaulatan berada di tangan
rakyat. Kedaulatan akan menentukan corak dan arah kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara.
Konsekuensinya,
rakyatlah yang memiliki hak untuk menentukan perjalanan hidup mereka. Menentukan
sistem, hukum dan konstitusi yang sesuai dengan selera mereka. Rakyat pula yang
berhak mengesahkan atau membatalkan undang-undang. Apa pun itu, semua harus
terjadi atas kehendak rakyat.
Rakyat adalah
sekumpulan orang. Dalam kehidupan komunal, keinginan dan kehendak yang
mengatasnamakan rakyat pasti saling berseberangan satu sama lain. Karenanya,
sebagai jembatan pihak-pihak yang berseberangan digunakanlah suara terbanyak
atau suara mayoritas untuk memutuskan suatu perkara.
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi adalah sebuah sistem yang kebijakan di
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanannya,
ditentukan atas dasar suara mayoritas melalui wakil-wakil rakyat.
Pemilu dan Trias Politica
Dalam praktiknya,
sistem pemerintahan demokrasi terbagi ke dalam tiga institusi yang memiliki tugas
dan fungsi yang berbeda-beda. Legislatif (pembuat
undang-undang), eksekutif (pelaksana
undang-undang), dan yudikatif (lembaga pengadil pelaksanaan
undang-undang).
Dibentuknya
ketiga institusi yang dikenal dengan istilah Trias Politica tersebut, bertujuan untuk mencegah dominasi
kekuasaan oleh seseorang atau lembaga tertentu sehingga kedaulatan rakyat tetap
terjaga.
Namun, sistem
suara terbanyak dalam pemilu proporsional (one
man, one vote, one value) akan terbentur dengan permasalahan baru yang
membawanya kepada ketidakpastian hukum dalam kehidupan bernegara.
Lalu, Bagaimana
dengan Indonesia?
Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi, sudah tidak asing lagi dengan istilah
pemilu atau pemilihan umum.
Indonesia sudah mengadakan pemilu dari tahun 1955 sampai saat ini.
Di tahun 2024, Indonesia akan kembali melaksanakan perhelatan politik. Pemilu nasional pemilihan presiden, DPD, DPR RI,
DPRD, Pilkada serentak hingga Pilkades.
Diawali dengan
masa pendaftaran peserta pemilu dan partai, masa kampanye (untuk memperoleh
simpati dan dukungan dari rakyat/pemilih) dan masa pencoblosan hingga penentuan
pemenang hasil pemilu.
Berdasarkan pengalaman sistem Pemilu di Indonesia. Dalam praktiknya, selalu menimbulkan efek negatif serta residu ketidakpuasan masyarakat.
Baca Juga : Sejak Kapan Anda Beriman ?
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
mengatakan; Pemilihan
umum (Pemilu) termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
rawan menimbulkan konflik. Meskipun Pemilu merupakan bagian dari demokrasi, efek
negatifnya tetap ada.
Memang election,
baik Pemilu
maupun Pilkada memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih, dan itulah
demokrasi. Tetapi dalam konteks ilmu security,
setiap perbedaan itu mengandung potensi konflik. Kata Mendagri Tito Karnavian dalam sebuah diskusi virtual, Senin
(31/8/2020).
Efek negatif yang dimaksud misalnya terjadinya keterbelahan
masyarakat. Keterbelahan itu terlihat jelas saat pelaksanaan Pilkada di berbagai
daerah. Keterbelahan masyarakat
juga dapat menyebabkan terjadinya konflik kekerasan.
Tidak hanya itu, biaya pemilu yang tinggi
juga menjadikan peserta menggunakan cara apapun untuk menang. Dalam suatu gelaran Pilkada misalnya, seorang calon kepala
daerah harus mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk keperluan tim sukses, saksi, kampanye, dan lainnya.
Sehingga seringkali berujung pada
menghalalkan segala cara untuk menang. Belum lagi, jika kandidat tersebut
memenangkan Pilkada dan ditetapkan sebagai kepala
daerah.
Kemudian gaji yang didapatkan tak sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan, maka hal inilah yang menjadi akar korupsi.
Tidak heran jika kita melihat banyak
sekali kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah. Dan mungkin salah satu akar permasalahannya
adalah karena sistem politik election,
Pilkada secara langsung.
Di sisi lain, dampak negatif dari penerapan sistem Pemilu adalah dominasi pimpinan partai
politik melampaui kedaulatan rakyat. Buktinya saat mereka menentukan para wakilnya di parlemen
atau lembaga legislatif seperti DPR.
Rakyat sekedar dijadikan sebagai kamuflase demokrasi dengan hanya
memilih partai tapi ketua partailah yang menentukan orang-orangnya.
Bagaimana tidak,
jual beli suara (money politic) antar
penguasa oligarki dalam sebuah mekanisme pemilihan pejabat legislatif dan
pejabat eksekutif dipandang lumrah. Hal ini dilakukan demi menghimpun suara dan
mengakomodasi kepentingan elit politik yang mustahil menang “50%+1” dalam
sistem multipartai.
Belum lagi potensi
suara rakyat yang hilang sia-sia, akibat orang atau partai yang dipilihnya
kalah (tidak mencapai batas suara minimum). Artinya, semua produk kebijakan
legislatif maupun eksekutif tidak sepenuhnya mewakili suara rakyat.
Jika dalam sistem
demokrasi ada yang mengatakan bahwa “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” lantas, suara Tuhan manakah yang tidak
terwakili?
Penulis:
Irman
Editor:
Bayu