KKN atau Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merupakan isu sosial yang hangat saat ini. Praktik KKN telah menjadi hal yang biasa di negeri ini karena para pemimpin sering kali terang-terangan melakukan praktik ini demi menguntungkan diri, keluarga, atau kelompok mereka sendiri. Akibatnya, rakyat sering menjadi korban dari keserakahan para pemimpin. Lalu, bagaimana pandangan Al-Qur’an mengenai fenomena ini? Mari kita bahas lebih lanjut.
Perhatikan QS. Al-Baqarah (2) Ayat 188:
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam ayat ini terdapat dua larangan sekaligus bagi setiap manusia: pertama, untuk tidak “memakan” harta di antara kamu atau sesama manusia dengan cara yang batil atau salah, yang ibaratnya seperti korupsi; dan kedua, untuk tidak menyuap orang lain demi kepentingan pribadi atau menutupi kasus korupsi, yang ibaratnya seperti praktek kolusi. Dengan demikian, Al-Qur’an sudah jelas melarang praktik korupsi dan kolusi, bahkan hukuman bagi orang yang mencuri adalah potong tangan.
Perhatikan QS. Al-Ma’idah (5) Ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقۡطَعُوۡۤا اَيۡدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَـكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ؕ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌ حَكِيۡمٌ
“Adapun laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Dapat dibayangkan jika hukuman ini diberlakukan di negeri ini, berapa banyak orang yang akan kehilangan tangannya? Terlebih, para pelaku korupsi yang telah mencuri uang negara sebanyak milyaran hingga triliunan rupiah tidak merasa malu ataupun bersalah.
Berbicara tentang nepotisme, yaitu perilaku yang lebih mengutamakan atau menguntungkan keluarga, kerabat, atau sahabat dekat dalam hal kekuasaan atau ekonomi, juga ternyata dilarang dalam Al-Qur’an.
Perhatikan QS. Al-Isra (17) Ayat 35:
وَاَوۡفُوا الۡـكَيۡلَ اِذَا كِلۡتُمۡ وَزِنُوۡا بِالۡقِسۡطَاسِ الۡمُسۡتَقِيۡمِؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini memerintahkan agar seseorang yang memiliki tugas menakar atau menimbang harus melakukannya dengan benar. Hal tersebut bagaikan seorang pengambil keputusan yang harus mendelegasikan tugas kepada seseorang sesuai dengan kapabilitasnya, seperti seorang ahli IT yang seharusnya ditunjuk untuk membuat website, bukan malah ahli mesin hanya karena ia adalah kerabat dekat.
Jika kita melihat uraian di atas, jelas bahwa Al-Qur’an melarang praktik KKN. Jadi, jika ada orang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an tetapi malah melakukan praktik KKN, patut dipertanyakan apakah ia masih mengikuti Allah atau Setan.
Sebagai ingatan terakhir, perhatikan QS. Al-Mursalat (77) Ayat 50:
فَبِاَىِّ حَدِيۡثٍۢ بَعۡدَهٗ يُؤۡمِنُوۡنَ
“Maka kepada ajaran manakah (selain Al-Qur’an) ini mereka akan beriman?”
Penulis: Azaria
Editor: Reine
Konten: Reuven
