Abraham adalah figur penting dalam sejarah tiga tradisi besar: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Ia dikenal sebagai pembawa prinsip ketauhidan, menegaskan bahwa hanya ada satu realitas tertinggi yang mengatur alam semesta. Namun, sepanjang hidupnya, ia menghadapi penolakan dari bangsanya sendiri, yang bertahan dalam sistem yang bertentangan dengan prinsip kebenaran.

Kisah Abraham dengan kaumnya mencerminkan bagaimana sebuah bangsa dapat menentang kebenaran yang datang dari Sang Pencipta Alam Semesta. Kaum yang dipimpin oleh Abraham berada dalam kekeliruan besar, yakni mengabdi kepada sistem yang jauh dari fitrah manusia. Dalam konteks ini, berhala bukan patung atau objek fisik yang disembah, tetapi lebih merujuk pada sistem-sistem atau ideologi yang mengarahkan manusia untuk hidup jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Sistem ini mengalihkan perhatian manusia dari pengabdian kepada Sang Pencipta menuju pengabdian kepada hal hal yang tidak memiliki esensi dan hal substansial untuk dijalankan. 

Abraham menyeru kaumnya untuk kembali kepada fitrah, yaitu pengabdian hanya kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Ia menegaskan bahwa mengabdi kepada sistem selain kebenaran yang dibawa oleh Allah hanya akan membawa kerugian dan kehancuran. 

Dalam Surah Al-Anbiya (21:66-67), ia menyatakan, “Qāla a fa ta’budụna min dụnillāhi mā lā yanfa’ukum syai`aw wa lā yaḍurrukum?”

Kaum Abraham, meskipun diseru untuk kembali kepada jalan yang benar, malah menanggapi seruan ini dengan kekerasan. Mereka merasa terancam oleh perubahan yang ditawarkan oleh Abraham karena sistem yang mereka anut memberi mereka keuntungan dan kekuasaan. Ancaman untuk “membakar” Abraham bukanlah bentuk kekerasan fisik, tetapi gambaran dari bagaimana sistem yang salah berusaha menekan kebenaran yang mengancam eksistensinya berupa provokasi,  pengusiran, fitnah. Seperti dalam Surah Al-Anbiya (21:68), mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhanmu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” Ancaman ini sebenarnya mencerminkan usaha untuk mempertahankan sistem yang telah mengakar kuat dalam bangsa mereka, meskipun sistem itu jelas bertentangan dengan fitrah dan kebenaran.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa perlawanan terhadap kebenaran sering kali datang dalam bentuk penolakan terhadap perubahan yang mengancam sistem yang telah berkarat, batil, dan mengakar, meskipun sistem itu jauh dari fitrah manusia dan jauh dari kebenaran yang sejati. Namun..seperti api yang tidak bisa menghanguskan Abraham (api menjadi dingin) kebatilan tak akan pernah bisa mengalahkan kebenaran yang berasal dari prinsip dan iman yang sejati.

 

Penulis: Pams

Editor: Reine 

Konten: Reuven

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *