Individualisme adalah ideologi yang menempatkan kebebasan, kepentingan, dan hak pribadi di atas kepentingan kolektif. Secara etimologis, istilah ini berasal dari kata individuum, yang berarti “tak terbagi” atau “perseorangan”, dan diberi akhiran -isme untuk menunjukkan sebuah aliran pemikiran. Ideologi ini mencapai masa kejayaannya pada abad ke-19, ketika semakin banyak orang menjadikan individualisme sebagai cara pandang hidupnya. Tapi, bagaimana sebenarnya Kitab Allah memandang paham ini?

Sebelum membandingkan nilai-nilai individualisme dengan ajaran ilahi, penting untuk memahami konteks sejarah dan perkembangan paham ini. Meski akar pemikirannya sudah ada sejak Yunani Kuno, individualisme modern berkembang pesat di masa Pencerahan Eropa. Tokoh seperti John Locke memperjuangkan hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang tidak boleh diganggu, bahkan oleh negara sekalipun.

Puncak penyebaran individualisme terjadi di era modern, terutama di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Revolusi industri, kapitalisme, dan sistem demokrasi liberal menjadi katalis penyebaran nilai-nilai individualisme. Otonomi, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab pribadi menjadi prinsip utama. Namun, di sisi lain, praktik individualisme juga mendorong orang untuk menolak campur tangan keluarga, masyarakat, bahkan ajaran agama, selama hal itu dianggap mengganggu kepuasan dan kebebasan pribadinya.

Ekspresi ekstrim dari individualisme bisa terlihat dalam bentuk penolakan terhadap kontribusi sosial, ketertutupan berlebihan atas kehidupan pribadi, bahkan menolak perintah Allah dan Rasul jika dianggap merugikan kepentingan diri. Jika paham ini dibiarkan, manusia akan cenderung menjadi egois, apatis, dan merusak tatanan sosial maupun lingkungan.

Allah sudah mengingatkan dalam QS. Ar-Rum (30):41–42:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

“Katakanlah (Muhammad), ‘Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menyekutukan (Allah).'”

Ayat ini menjelaskan bahwa bukan hanya sekedar memperingatkan kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan nilai yang muncul saat manusia menjadikan dirinya sebagai pusat kebenaran.

Dalam sudut pandang Al-Qur’an, individualisme ekstrem bisa menjadi jalan menuju kemusyrikan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Jasiyah (45):23:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya…”

Ketika seseorang hidup berdasarkan kepentingan diri dan hawa nafsu, ia menjadikan dirinya sebagai “Tuhan kecil” dalam hidupnya sendiri, berarti hal itu merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.

Lebih jauh lagi, individualisme juga memicu perpecahan sosial. Jika setiap orang hanya memikirkan dirinya, lalu siapa yang mau saling menolong ketika terjadi krisis? Siapa yang rela mengalah demi persatuan? Padahal, Islam sejak awal dibangun di atas semangat tauhid. Misi para nabi tidak akan pernah tercapai jika hanya didasarkan pada semangat individual.

Bayangkan jika Rasulullah dan para sahabat tidak bersatu. Mungkinkah Islam bisa tegak? Mungkinkah mereka bisa menang dalam Perang Badar atau Khandaq jika hanya mementingkan diri? Justru karena persatuan dan semangat satu barisan itulah mereka kokoh.

Allah menegaskan dalam QS. As-Saff (61):4:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Kesimpulannya, individualisme yang menolak nilai-nilai kolektif, kemaslahatan bersama, dan ajaran Allah tidak hanya merusak struktur sosial, tapi juga menjauhkan manusia dari nilai-nilai tauhid. Ia melahirkan pribadi-pribadi yang hanya ingin menang sendiri dan abai terhadap dampak perbuatannya. Maka dari itu, jika kita ingin hidup damai dalam kehidupan dan diridhai oleh Allah, kita perlu kembali kepada nilai persatuan, tolong-menolong, dan ketundukan pada apa yang sudah disampaikan yaitu petunjuk dari-Nya.

 

Penulis: Azaria

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *